Tidak Memuat Penodaan Agama, KUHP Baru Beri Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Jakarta — Tidak memuat adanya pasal penodaan agama seperti yang terkandung dalam KUHP lama peninggalan Belanda, KUHP Nasional yang baru dinilai mampu memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam masyarakat.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Rumadi Ahmad dengan tegas membantah adanya anggapan yang menyatakan bahwa seolah-olah Kitab Undang-Undang Hukup Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh DPR RI beberapa waktu lalu akan mengancam kebebasan beragama.
Menurutnya, pendapat tersebut adalah sebuah opini yang jelas menyesatkan, karena sama sekali tidak disertai dengan penjelasan konkret soal aspek KUHP di dalamnya.
“Jika yang dimaksud terkait dengan delik keagamaan sebagaimana diatur dalam pasal 300-305, pendapat tersebut tidak sepenuhnya tepat,” ujar Rumadi
Bukannya mengancam kebebasan beragam, namun justru baginya, delik keagamaan yang diatur dalam KUHP baru telah diformulasikan dengan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan KUHP lama peninggalan kolonial Belanda.
Karena memang dalam delik agama tersebut diatur sedemikian rupa terkait adanya perbuatan yang bersifat permusuhan, kebencian, menghasut untuk kekerasan, hingga diskriminasi agama, kepercayaan orang lain serta golongan atau kelompok atas dasar agama dan kepercayaan.
Bahkan untuk menghindari semisal terjadi kemungkinan penyalahgunaan akan delik tersebut, sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 300.
“Untuk menghindari adanya kemungkinan penyalahgunaan dalam pelaksanaannya, maka pada pasal 300 dijelaskan bahwa delik tersebut tidak bisa digunakan untuk memidana perbuatan atau pernyataan tertulis,” ungkap Rumadi.
Kemudian, hal yang dibatasi tidak hanya sekedar pernyataan tertulis semata, namun juga ucapan secara lisan, yang mana jika memang disampaikan secara objektif untuk kalangan sendiri ataupun dalam konteks ilmiah.
“Maupun lisan yang dilakukan secara objektif dan terbatas untuk kalangan sendiri, atau bersifat ilmiah mengenai sesuatu agama atau kepercayaan yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata atau kalimat yang bersifat permusuhan, kebencian atau hasutan,” papar dia.
Rumadi menambahkan bahwa penjelasan dan penekanan lebih lanjut mengenai kriteria orang yang bisa masuk ke dalam delik atau tidak, menjadi hal yang sangat penting karena memang sejauh sampai saat ini, adanya delik keagamaan terus diterapkan secara eksesif sehingga banyak korban atas nama ‘penodaan agama’.
Tenaga Ahli Utama KSP tersebut menegaskan bahwa delik keagamaan yang termaktub dalam KUHP baru bahkan mampu memberikan perlindungan yang sangat jelas kepada kelompok minoritas.
Utamanya adalah kelompok minoritas seperti para penganut penghayat kepercayaan, yang memang sebelumnya sama sekali tidak secara eksplisit disebutkan dalam KUHP lama peninggalan Belanda.
“Hal ini bisa dilihat dalam judul BAB VII KUHP baru yang memuat 6 pasal (pasal 300-305), yaitu Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan,” tuturnya.
Oleh karena itu, menurutnya sama sekali KUHP baru ini tidaklah mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah masyarakat, namun justru memberikan perlindungan serta jaminan yang jelas.
“Contohnya, pada KUHP baru sudah tidak lagi memuat norma ‘Penodaan Agama’ Sebagaimana di dalam KUHP lama yang banyak dipersoalkan kalangan aktivis,” kata Rumadi.
“Siapapun yang mengikuti dengan cermat proses pembahasan delik keagamaan, akan melihat dengan jelas adanya perbaikan-perbaikan secara substansial dari KUHP lama,” tambahnya.