Tindak Tegas Penyeleweng Bansos Terdampak Covid-19
Oleh : Zakaria )*
Bantuan sosial yang diberikan pemerintah sejak awal pandemi covid-19 diberikan kepada masyarakat yang terdampak Corona. Jenis bantuan itu bisa berupa paket sembako atau uang 600.000 rupiah. Sayangnya dalam penyaluran bansos, ada penyelewengan seperti pemotongan dana atau pemalsuan data penerima. Mereka diancam hukuman atau denda.
Corona membuat orang merana karena gaji jadi berkurang bahkan sampai kehilangan pekerjaan. Untuk menolong rakyat kecil, maka pemerintah langsung memberikan bantuan uang atau paket sembako. Penyaluran bantuan sosial dilakukan melalui pejabat setingkat desa atau kelurahan, karena mereka yang memegang data penduduk.
Namun ada pihak yang tega menyelewengkan dana bansos. Oknum pejabat di Desa Banpres, Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan, terbukti memotong bansos sebanyak 200.000 rupiah dari 18 KK, sebagai imbalan. Ia pun terancam hukuman denda mulai 200 juta rupiah atau penjara minimal 4 tahun. Penyunatan bansos ini disesalkan oleh Mentri Desa PDTT Abdul Halim.
Pelanggaran bansos tidak hanya dilakukan oleh oknum perangkat desa, namun juga penerimanya. Kepala Dinas Sosal Kabupaten Barito Timur, Rusdianor menyatakan bahwa jika ada yang terbukti memalsukan data, maka harus membayar denda 50 juta rupiah. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin.
Bantuan sosial juga terbukti bisa disalahgunakan oleh pejabat petahana. Mereka ingin dipilih lagi, lalu menyablon tas atau plastik kemasan bansos bergambar wajah dan namanya. Padahal isi bantuan sosial tersebut bukan dari uang pribadi, melainkan dari pemerintah. Pelanggaran ini terjadi di banyak wilayah, mulai dari Riau, Lampung, Cianjur, Gorontalo, sampai Papua.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono, menyatakan bahwa bansos harus bebas dari politisasi. Oknum yang menyalahgunakannya juga bisa terancam hukuman berat, walau menyandang status sebagai pejabat. Karenanya, perlu ada pengawasan dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain pemotongan uang dan politisasi bansos, maka ada kasus lain seperti pembagian sembako yang tidak merata, pengurangan timbangan dari isi paket, dan tak ada transparasi kepada masyarakat umum. Jadi mereka bingung mengapa tidak mendapat bantuan, padahal termasuk kategori kurang mampu. Sudah ada 55 kasus yang diselidiki oleh Polda.
Presiden Joko Widodo juga menginstruksikan Polri untuk langsung menciduk para pelanggar bantuan sosial. Pertama bisa dengan diingatkan, seperti seorang ketua RT yang akhirnya mengembalikan dana bansos dan batal kena hukuman. Namun jika sudah ada niatan buruk dari pejabat penyeleweng bansos untuk korupsi, Polri dipersilahkan menindak dengan tegas.
Masyarakat diminta ikut mengawasi proses penyaluran bantuan sosial pemerintah. Jika ada kecurangan, maka bisa langsung dilaporkan melalui email atau nomor WA yang nantinya tersambung dengan akun Kementrian Sosial. Ketika ada masyarakat yang peduli, maka penyelewengan dana bisa langsung ditindak dan bansos itu diberi kepada yang berhak.
Mengapa penyeleweng bansos harus dihukum keras, bahkan mendapat denda 200 juta sampai 1 milyar rupiah? Karena hal ini untuk menimbulkan efek jera. Ketika mereka nakal dan harus didenda atau dimasukkan bui, maka tidak akan mengulangi perbuatannya. Kepala daerah atau pejabat desa di tempat lain juga tak menirunya, karena takut dengan hukuman.
Jangan memanfaatkan jabatan lalu seenaknya menyelewengkan dana bansos atau malah memberikannya kepada keluarga dekatnya. Saat ini masyarakat tidak bisa dikibuli, dan mereka bisa melapor ke pihak berwajib. Pejabat itu harus ingat bahwa ada hukuman berat yang menanti, jika terbukti bersalah menyunat dana bantuan.
Bantuan sosial ditujukan kepada masyarakat yang kurang mampu. Oleh karena itu tidak boleh disunat walau hanya 50.000 rupiah. Petahana juga tidak boleh mempolitisasi bantuan sosial ini demi elektabilitas. Walau baru bisa ditindak 6 bulan kemudian, namun ia juga terancam hukuman keras. Karena memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor