Tolak Beberapa Substansi Materi UU KPK, ini Penjelasan Jokowi
Oleh : Muhammad Ridwan )*
Jokowi menolak beberapa substansi terkait materi UU KPK yang dinilainya belum pas. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah mengkaji seluruh draft yang diajukan DPR demi optimalnya pemberantasan korupsi.
Materi UU KPK ini agaknya tak habis-habis untuk dibahas. Beragam polemik mengikuti kemana saja materi ini bergerak, tak ayal banyak pro dan kontra yang diluncurkan. UU ini diharapkan mampu memperkuat kinerja KPK kedepannya, setelah sebelumnya lembaga antirasuah ini mati suri.
Dalam sebuah jumpa pers, Presiden Joko Widodo menerangkan sikapnya terkait dengan substansi yang disetujui serta ditolak olehnya. Awalnya Jokowi menegaskan bahwa revisi UU KPK adalah RUU yang merupakan usulan dari DPR. Yang kemudian tugas pemerintah ialah meresponnya. Yakni, dengan menyiapkan daftar isian masalah (DIM) serta menugaskan menterinya untuk melakukan pembahasan ataupun pengkajian.
Namun seiring perjalanannya, Jokowi menilai jika UU KPK ini tetaplah membutuhkan revisi meski secara terbatas. Pihaknya meyakinkan bahwa KPK tetap akan menjadi lembaga sentral serta tetap lebih kuat kewenangannya dari lembaga lainnya perihal pemberantasan korupsi. Orang nomor satu di Indonesia ini mengemukakan empat poin yang tidak disetujuinya terkait revisi UU yang dinilainya belum pas. Berikut ialah 4 poin tersebut
1. Jokowi menolak setuju apabila pihak KPK harus meminta izin terlebih dulu dari pihak eksternal guna melakukan proses penyadapan. Misalnya saja harus izin ke pengadilan, KPK dinilai cukup meminta izin internal dewan pengawas guna menjaga kerahasiaan.
2. Berkenaan dengan Penyelidik dan penyidik KPK yang hanya berasal dari kepolisian serta kejaksaan saja. Jokowi menyatakan jika Penyelidik dan penyidik KPK juga bisa berasal dari unsur ASN, dapat berasal dari pegawai KPK, maupun instansi lainnya, namun tetap saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar dan tepat.
3. Jokowi tak setuju jika KPK haruslah berkoordinasi dengan pihak Kejakgung dalam proses penuntutan. Jokowi menilai sistem penuntutan yang telah berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu untuk diubah lagi.
4. Terakhir, Jokowi tidak menyepakati perihal pengelolaan LHKPN yang nantinya akan dikeluarkan dari KPK, serat diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Jokowi menginginkan LHKPN tetap diurus oleh pihak KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini.
Lebih lanjut Jokowi menegaskan bahwa lembaga antirasuh ini harus memegang peran paling inti dalam hal pemberantasan korupsi. KPK juga harus menjadi lembaga yang paling kuat kewenangannya dibanding lembaga lain terkait korupsi ini.
Dalam pertemuan legislasi pada pertengahan September 2019 yang melibatkan antara Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly serta Mendagri, Tjahjo Kumolo turut membahas sejumlah revisi terkait UU KPK ini. Pihaknya membantah jika rapat ini diadakan guna mengebut pembahasan revisi. Dalam pertemuan tersebut setidaknya ada 3 RUU. Yakni, Revisi UU nomor 30 tahun 2002 berkenaan dengan KPK, Kedua revisi UU nomor 2 tahun 2018 tentang, DPR, MPR, DPD serta DPRD (UU MD3).
Serta tak ketinggalan revisi tentang Perubahan atas UU Nomor 12 tahun 2011 yang berisi tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan. Disebutkan jika Revisi undang – undang yang terakhir memungkinkan DPR untuk melanjutkan pembahasan revisi yang belum selesai pada periode sekarang ke periode selanjutnya, tanpa memulainya lagi dari awal.
Lain hal, Presiden Jokowi mengungkapkan pendapatnya terkait dengan perlu tidaknya pembentukan dewan pengawas bagi lembaga antirasuah ini. Mantan Gubernur Jakarta ini merasa perlunya pembentukan dewan pengawas guna mengawasi lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Jokowi menyatakan bahwa Dewan Pengawas diperlukan karena hampir semua lembaga negara bekerja secara prinsip Check and balances. Hal itu dibutuhkan guna menekan potensi penyalahgunaan kewenangan, sehingga dengan adanya dewan pengawas ini merupakan instrumen yang wajar menuju proses tata kelola yang lebih baik lagi.
Selain itu Jokowi turut menambahkan jika dewan pengawas perlu mengambil anggota dari tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat antikorupsi namun bukan politisi, bukan birokrat atau aparat penegak hukum yang masih aktif.
Pendapat lain meluncur dari Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia menyatakan jika RUU KPK tentu diperlukan, pihaknya menganalogikan di negara demokrasi tidak ada lembaga yang bersikap layaknya dewa. Dirinya turut menambahkan, bahwa revisi tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki lembaga antirasuah, sehingga tidak akan terlegitimasi. Namun, di sisi lain DPR sudah mengesahkan RUU KPK menjadi undang – undang. Hal ini dilakukan pada rapat paripurna yang telah diselenggarakan pada tanggal 17 September lalu.
Bagaimana pun juga, penetapan RUU KPK ini sudah semestinya mampu diselenggarakan sesuai beragam kajian dan penelitian mendalam. Mengingat lembaga antirasuah ini memiliki tugas cukup berat dalam pemberantasan korupsi yang dinilai stagnan selama 17 tahun berkiprah. Sehingga penerapan UU KPK ini nantinya akan mampu menguatkan kinerja KPK kedepannya.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik