Undang-undang Cipta Kerja Mendorong Pertumbuhan Ekonomi inklusif
Oleh : Raditya Rahman )*
Sebuah negara layak disebut memiliki pertumbuhan ekonomi inklusif setidaknya ada beberapa indikator, seperti berkurangnya angka kemiskinan, turunnya ketimpangan distribusi pendapatan, serta terserapnya tenaga kerja. Seluruh indikator tersebut rupanya sudah diatur di dalam undang-undang (UU) Cipta Kerja.
Pemerintah telah menargetkan penurunan angka kemiskinan ekstrem hingga nol persen pada 2024. Melalui strategi jangka pendek, pemerintah menyalurkan tambahan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa dan Program Kartu Sembako hingga akhir tahun.
UU Cipta Kerja berisi aturan yang membangun sinergitas dan kesinambungan berbagai sektor, sehingga dapat meningkatkan investasi, produksi ekonomi yang pada akhirnya berdampak pada tumbuhnya lapangan kerja, peningkatan PDB nasional dan harapannya angka kemiskinan dapat turun.
Tercatat setiap tahunnya Indonesia memiliki 6.9 juta pengangguran, ditambah lagi dengan adanya lulusan SMA/SMK/MA dan Sarjana maupun Diploma, keberadaan tersebut tentu saja harus menjadi perhatian khusus. Apalagi pada saat pandemi corona, di mana masyarakat cukup terdampak secara ekonomi.
Filosofi dibuatnya UU Cipta Kerja salah satunya bertujuan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Hal tersebut juga sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan. Karena ketika pengangguran berkurang, maka daya beli masyarakat akan meningkat.
Selain itu UU Cipta Kerja juga diharapkan dapat mengatasi masalah ketimpangan yang terjadi, dengan adanya kemudahan yang ditawarkan oleh UU Cipta Kerja, diharapkan akan lahir pelaku usaha baru dan pelaku umkm baru, sebab nantinya akan ada perombakan besar-besaran dalam struktur ketenagakerjaan di Indonesia.
UU Cipta Kerja juga memunculkan peluang bagi pelaku UMKM untuk bisa mengembangkan usahanya dengan adanya beragam kemudahan yang ada.
Selain itu UU Cipta Kerja tersebut juga akan mempercepaat proses transformasi UMKM dan Koperasi dari sektor informal menjadi formal.
Sementara itu, UU Cipta Kerja juga diyakini mampu menyerap tenaga kerja guna mengantisipasi bonus demografi yang dialami Indonesia pada tahun 2020 sampai 2030.
Bonus demografi merupakan suatu keadaan dimana penduduk suatu negara yang masuk ke dalam usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Usia produktif yang dimaksud adalah berkisar antara 15 hingga 64 tahun.
Perlu diketahui, bonus demografi dianggap hanya terjadi satu kali di setiap negara, sehingga sudah sepantasnya peristiwa ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Banyak negara yang telah berhasil dan terbukti memanfaatkan bonus demografi dengan maksimal seperti Malaysia, Korea Selatan dan masih banyak lagi. Salah satu manfaat yang diberikan oleh bonus demografi adalah, bisa mengubah tingkat perekonomian di sebuah negara dari negara berkembang menjadi negara maju.
Hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Indonesia. Mengingat, bahwa saat ini jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif.
Jika bonus demografi tidak dibersiapkan dengan baik, tentu saja hal ini bisa menjadi bahaya bagi sebuah negara apabila bonus demografi tidak diatasi dengan baik.
Jumlah pengangguran yang meningkat akan menjadi awal yang buruk bagi negara yang tidak mampu memanfaatkan bonus demografi. Sebab, dari hal itu bisa berdampak ke berbagai aspek kehidupan.
I Dewa Gede Karma selaku Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) mengatakan, keberadaan UU Cipta kerja dinilai mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan dunia kerja yang semakin kompetitif.
Menurutnya, ada beberapa mekanisme untuk menyerap tenaga kerja yang lebih optimal. Pertama, ada beberapa klaster yang dibahas secara simultan di UU Cipta kerja sehingga beberapa aspek dalam pembukaan unit usaha, investasi, peluang bisnis yang dibangun menjadi lebih jelas dan lebih sinergis.
Selain itu, dalam UU tersebut juga merevisi soal aturan perizinan usaha, aturan ketenagakerjaan, aturan permodalan investasi, aturan lingkungan. Sehingga UU tersebut mengatur beberapa aspek secara simultan.
Saat ini, yang perlu dipastikan dalam UU Cipta Kerja ada 2 hal, pertama yakni sisi legal atau prosedur hukumnya, yaitu peraturan pemerintah yang mendukung UU tersebut. Kedua, dari sisi pekerjanya juga perlu disiapkan dan dipastikan bahwa para tenaga kerja mendapatkan asupan skill, disediakan ruang-ruang tempat pendidikan, pelatihan dan akses untuk meningkatkan keterampilan agar mampu diserap oleh industri.
Melalui UU Cipta Kerja, industri akan menyerap tenaga kerja lebih banyak, tetapi tenaga kerjanya harus terlatih, bisa dilatih dan mau dilatih dan mau dilatih dengan baik untuk masuk ke pasar kerja atau industri kerja.
Banyak hal yang diatur dalam UU Cipta Kerja, aturan ini menyasar banyak pihak, seperti pengusaha, investor, tenaga kerja bahkan masyarakat yang belum mendapatkan pekerjaan. Sehingga diharapkan UU Cipta Kerja mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute