Upaya Menangkal Radikalisme di Kampus
Oleh : Ilham Ramadhan )*
Radikalisme ini merupakan pemicu utama tindakan ekstrim, termasuk anarkisme. Seiring perkembangan, gerakan ini ditengarai menyesar generasi muda dan kalangan intelektual. Penangkapan seorang dosen di Bogor menjadi contoh nyata ancaman terkini penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan.
Radikalisme tampaknya memang menyasar kampus – kampus untuk mendapatkan “kader” yang militan. Bahkan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir, mengatakan bahwa kampus belum bisa bersih dari radikalisme.
Hal tersebut ia sampaikan menyusul penangkapan dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Abdul Basith yang diduga menyimpan puluhan bom molotov, yang siap diledakkan saat unjuk rasa Aksi Mujahid 212 di Jakarta.
Dirinya juga mengatakan agar ada upaya serius dalam pemberantasan paham radikalisme. Ia juga mendorong agar pihak kepolisian dapat mengusut tuntas oknum dosen tersebut.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa IPB merupakan salah satu kampus yang terpapar radikalisme. Bersama dengan 6 perguruan tinggi negeri (PTN) lainnya, IPB dinilai rawan akan penyebaran paham radikal.
BNPT menyebut sebanyak 7 kampus ternama yakni, UI, ITB, IPB, UNDIP, ITS, Unair dan UB.
Secara Historis, gerakan – gerakan pemikiran keagamaan radikal yang bersifat transnasional telah berkembang semenjak 3 dekade terakhir di Kota Bogor.
Pasca Orde baru, gerakan radikalisme semakin terbuka dan menyasar ke kampus – kampus, sebagai basis penyebaran indoktrinasi di kalangan akademisi dan mahasiswa tentang pemahaman agama yang sempit.
Gerakaan mereka berawal dari membentuk kelompok pengajian dengan tutor – tutor dari kalangan mereka baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa senior.
Tidak sampai disitu saja, ternyata gerakan mereka juga menguasai mayoritas organisasi kemahasiswaan seperti BEM, Himpro, serta Organisasi lainnya.
Lantas mengapa IPB cukup rentan terhadap pengaruh dan sasaran gerakan Radikal? Hal itu disebabkan karena Mahasiswa IPB berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam sistem penerimaannya menggunakan pola bebas testing dan merekrut siswa yang berprestasi semenjak tahun 1970-an.
Artinya kalangan yang menyebarkan gerakan radikal tersebut mencium peluang untuk menyebarkan pemahamannya. Mereka berharap agar nantinya mahasiswa IPB yang datang dari daerah dapat menjadi kader setelah mereka lulus dan kembali ke daerahnya.
Selain itu, mahasiswa IPB yang berasal dari berbagai daerah tersebut secara kultural akan lebih mudah dipengaruhi. Apalagi lewat doktrinasi keagamaan karena mereka barus saja lulus SMA, dan belum tentu mereka memiliki basis maupun cara pandang keagamaan yang kuat.
Setara Institute juga menyebutkan bahwa Masjid Al-Hurriyah di IPB tersebut ditengarai sebagai tempat kaderisasi kelompok radikal.
Masuknya kelompok radikal juga diawali oleh pergerakan Ikhwanul Muslimin. Mereka bergerak secara halus dan cermat pada masa Orde Baru. Sasaran mereka adalah dunia pendidikan. Kampus tampaknya menjadi sasaran karena disanalah mereka dapat menguasai beasiswa bagi program kaderisasinya.
Beberapa tahun kemudian, setelah Ikhwanul Muslimin, masuklah Salafi Wahabi dan Hizbut Thahrir ke kampus-kampus. Mereka membentuk ikatan ekslusif dan secara masif menyebarkan ideologinya.
Melalui IPB mereka melakukan kaderisasi di Masjid. Mereka juga mencari siswa-siswa SMA yang pintar untuk kemudian diberikan beasiswa.
Cara penyebaran ideologi mereka menarik, bukan hanya karena pada tataran diskusi saja. Namun semua fasilitas disediakan; mulai dari kos, uang bulanan sampai dikenalkan dengan wanita yang menjadi anggota untuk dikawinkan.
IPB tampaknya memang menjadi Kampus yang bisa dibilang ekslusif bagi kelompok tersebut, Bahkan kelompok radikal itu juga sempat mengharuskan IPB menjadi kampus berjilbab, padahal kita semua tahu bahwa IPB merupakan kampus Negeri dimana mahasiswa didalamnya berasal dari berbagai suku dan Agama.
Mereka juga sempat membubarkan pertunjukkan musik karena dianggap sebagai perbuatan maksiat. Selain itu mereka juga menghilangkan Acara kebudayaan dan Seni.
Setelah kaderisasi berjalan, maka kader-kader mereka akan dikerahkan keluar dalam program lapangan, dengan tujuan membangun jaringan baru sekaligus menyebarkan ideologi khilafah. Mereka benar – benar terlatih untuk membangun sebuah gerakan yang akan mereka hantamkan kelak puluhan tahun kemudian.
Mereka yang sudah menduduki jabatan penting d perusahaan pemerintah, tentu bisa saja kemudian kembali melakukan kaderisasi ke jajaran di bawahnya.
Perjalanan memerangi radikalisme di Indonesia ini layaknya jalan panjang tak berujung, karena sejak lama dibiarkan. Namun dengan adanya hal tersebut tentu kita dapat memulai langkah antisipasi agar stigma kampus sebagai sarang radikalisme dapat memudar.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik