Upaya Menjaga Persatuan dan Meredam Polarisasi Politik Pasca Pemilu
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Rangkaian peristiwa di daerah menjadi tolok ukur memanasnya tensi politik selama Pemilu 2019 berlangsung, baik sebelum pencoblosan hingga sesudah pencoblosan, media mencatat sebuah peristiwa di Purworejo Jawa Tengah, dimana sempat terjadi peristiwa pengeroyokan pada 2 April 2019. Seorang Pria berkaos Capres petahana Joko Widodo menjadi bulan – bulanan massa yang dicurigai merupakan massa pendukung Prabowo – Sandi.
Pengamat Politik, Ujang Komarudin membeberkan analisisnya, bahwa polarisasi di Pilpres 2019, sudah terbelah sejak perhelatan Pilpres 2014. Alasannya, Pilpres kali ini merupakan Rematch antara Jokowi – Prabowo.
Polarisasi terjadi karena para elit politik yang terlibat dalam mengompori massa pendukungnya. Bahkan tak jarang ketika berkampanye mereka menyerang dengan berbagai isu.
“Membangun kesadaran di tingkat elite dan masyarakat. Bahwa pilpres itu bukan untuk permusuhan. Pilpres itu ritual demokrasi lima tahun dan harus diselenggarakan dengan menyenangkan,” tutur Ujang.
Senada dengan pernyataan tersebut, Darsono selaku Sosiolog dari Universitas Brawijaya mengatakan, pentingnya pernyataan adem dan sejuk oleh kedua kubu elite.
Sikap para elite politik harus menjadi contoh untuk pendukungnya dan masyarakat. Perhelatan pilpres harus menjadi ajang kesempatan pendidikan politik ke masyarakat. “Kurangi yang heboh negatif, perbanyak positif. Sulit mungkin itu jadi tantangan, demi semua,” tutur Darsono.
Polarisasi yang sudah terlihat harus diredam agar tidak semakin meruncing. Darsono juga mengingatkan, jangan sampai hajatan Pilpres lima tahunan ini justru menjadi momen perusak demokrasi.
Elite sebagai calon pemimpin, sudah semestinya cermat dalam memilah – milah sikap dan ucapan. “Bagaimana merawat persatan itu yang penting. Panas, tetapi elite – elite ini harus bijak menyampaikan sikap politik,” tutur Darsono yang juga Guru Besar Unibraw.
Lantas apa yang mendasari polarisasi muncul hingga berdampak pada masyarakat luas, Hendri Satrio seorang Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina mengatakan bahwa polarisasi muncul karena hanya dua calon pemimpin yang bersaing merebut kursi tahta RI 1.
Meski keduanya bersaing untuk mendapatkan suara terbanyak dari rakyat Indonesia, namun perlu kiranya kedua paslon tersebut memperlihatkan saling rangkul untuk memberikan contoh ke elite pendukung dan masyarakat.
Baginya, hal ini penting, mengingat budaya masyarakat Indonesia yang masih ikut terhadap pemimpin. Maka dari itu, calon pemimpin harus memberikan keteladanan, bagaimana dirinya bersaing secara sehat tanpa memecah belah persatuan.
Masyarakat khususnya pengguna media sosial tentu tidak asing dengan istilah “cebong” dan “kampret” yang menjadi wajah buruk polarisasi politik Indonesia yang selama ini sudah menggurita sampai pada ranah akar rumput.
Warganet dan masyarakat telah terbelah menjadi 2 kubu yang sampai saat ini masih berlanjut meski KPU telah mengumumkan pemenang pilpres secara resmi pada 21 Mei 2019.
Tentu patut disayangkan apabila kampanye yang terjadi saat itu justru menjadi kampanye yang tidak sehat sehingga para pendukungnya dengan ringan melancarkan fitnah.
Padahal jika melihat dari segi pendidikan politik, politik ada untuk kemuliaan dalam hal menciptakan kesejahteraan, keamanan, ketertiban dan kelayakan dalam bernegara.
Sudah semestinya perbedaan justru diterima sebagai sebuah keniscayaan, namun yang menjadi masalah adalah setiap orang akan selalu memiliki cara pendang dalam penilaian yang tidak sama dengan orang lain, termasuk dengan teman atau dengan ayah dan ibu serta anggota keluarga lainnya,
Tentu sungguh tidak bijak, apabila pemilu yang dilaksanakan sehari dapat merusak tatanan kehidupan yang telah dibina selama bertahun – tahun.
Gesekan sosial pasca pemilu memang sebuah persoalan tersendiri yang dapat mencederai persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga diperlukan upaya dan juga semangat menjaga nilai – nilai persatuan dan kesatuan bersama sebagai sebuah bangsa dan negara.
Saat ini menjaga persatuan merupakan perjuangan tersendiri, berbagai upaya provokasi masih santer melintas di berbagai media, para ustaz bersorban masih saja menyampaikan ceramah yang terkesan provokatif.
Tentunya langkah konkrit untuk menjaga persatuan adalah dimulai dari diri sendiri, dengan tidak mudah terprovokasi oleh sesuatu yang hanya mengejar sensasi tanpa bukti. Selain itu menahan diri untuk tidak menyebarkan berita hoax juga merupakan hal konkrit untuk bisa meredam tersebarnya berita hoax yang dapat mengancam rasa persatuan di Indonesia.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik