Utang Negara Salah Jokowi?
Oleh : Ahmad Harris )*
Menjelang debat Capres-Cawapres 2019 yang ditunggu-tunggu, kubu Prabowo maupun Jokowi tentu tengah menyiapkan bahan dan referensi yang akan digunakan untuk menarik hati masyarakat Indonesia. Bagi kubu Jokowi, momen debat tersebut mungkin akan digunakan untuk menyampaikan program, visi misi, serta perkembangan yang telah berhasil dilakukan Jokowi. Di sisi lain, pihak Prabowo dapat dipastikan akan menggunakan momen tersebut untuk mengkritik Presiden Jokowi sebagai petahana. Tampaknya, pihak Prabowo memang menyadari bahwa visi misi yang diusungnya tidak cukup berpengaruh terhadap masyarakat, sehingga jalan satu-satunya untuk mendapatkan popularitas ialah dengan menjatuhkan lawan politiknya.
Salah satu isu wajib yang pasti akan dibawa Prabowo ialah perihal utang. Prabowo dan Sandi cenderung intens untuk menggemborkan utang negara saat berkampanye. Prabowo bahkan pernah berkata setiap anak bayi yang lahir di Indonesia telah memiliki tanggungan utang sebesar Rp 9 juta. Sementara itu, Sandiaga Uno menyatakan utang yang ditanggung tiap anak mencapai Rp 13 juta. Padahal utang negara tidak pernah berprinsip seperti itu. Tentu utang negara akan dibayar oleh negara, bukan setiap anak yang baru lahir. Analoginya, jika kita meminjam uang di Bank, pihak Bank tidak pernah menanyakan jumlah anak yang dimiliki melainkan jumlah penghasilan yang diperoleh. Nufransa Wira, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, mengatakan tidak ada hubungan utang per kapita dengan utang per masyarakat di Indonesia.
Meski sudah diklarifikasi berulang-ulang oleh pemerintah, Prabowo dan Sandi tetap enggan keluar dari kesesatan berpikirnya terhadap utang negara. Keduanya tetap mengkampanyekan bahwa Jokowi adalah akar masalah dari seluruh utang negara. Nyatanya, utang negara Indonesia sudah cukup besar sejak jaman SBY. Pada masa pemerintahan sebelumnya, SBY menggunakan utang untuk subsidi listrik, subsidi BBM dan subsidi BLT. Memang program tersebut sangat populer di tengah masyarakat tetapi secara perlahan program tersebut justru menggerogoti Indonesia dengan tunggakan utangnya. Dapat dikatakan, tujuan SBY menggunakan utang hanyalah untuk membuat kebijakan yang disenangi masyarakat tanpa memikirkan dampak panjang terhadap ekonomi negara.
Berbeda dengan SBY, Jokowi justru menggunakan utang untuk meningkatkan perekonomian negara. Alokasi utang negara dalam masa Jokowi digunakan untuk pembangunan blok minyak, infrastruktur, bendungan, irigasi dan sarana lain yang dapat mendukung kesejahteraan masyarakat. Meskipun masyarakat tak dapat merasakan keuntungan utang tersebut seperti subsidi BBM jaman SBY, namun secara perlahan alokasi utang tersebut nantinya dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat Indonesia. Tentu kita tidak ingin memilih bersenang-senang di awal dan bersusah di akhir, bukan?
Namun, begitulah politik, meski Jokowi telah melakukan langkah yang tepat, pihak oposisi terus berupaya menggugat dan mengubah fakta agar seolah-olah utang negara sudah sangat berbahaya bagi negara. Tidak lain, tujuannya hanya ingin menjatuhkan elektabilitas Presiden Jokowi agar masyarakat beralih mendukung pihak Prabowo. Nufransa Wira mengatakan ancaman utang terhadap negara harus dilihat berdasarkan pakem ekonomi bukan politik untuk menghindari bias. Menurutnya, Indonesia masih dalam kondisi aman dan tidak akan punah dengan utang saat ini. Rasio utang per kapita Indonesia pada 2018 tercatat sebesar US$ 1.147 dengan rasio utang per PDB sebesar 30%. Angka tersebut masih jauh dibawah 60% sebagaimana ketentuan UU Nomor 17 tahun 2003.
Sebagai negara berkembang, masyarakat Indonesia tidak perlu anti dengan utang negara karena setiap negara membutuhkan hal tersebut. Namun, yang perlu dilihat ialah produktifitas penggunaan utang tersebut dalam mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti peribahasa, berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, begitulah Jokowi dalam menggunakan utang negara agar ke depannya terjadi peningkatan perekonomian yang lebih baik.
)* Penulis adalah pemerhati ekonomi