UU Cipta Kerja Dorong Skema Kemitraan UMKM Gelorakan Sektor Riil di Indonesia
Oleh : Maya Naura Lingga )*
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mampu mendorong adanya skema kemitraan dengan para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang mana hal tersebut berarti juga mampu semakin menggelorakan sektor ekonomi riil di Indonesia.
Dengan adanya skema kemitraan kepada para pelaku UMKM itu, juga sekaligus bertujuan untuk menghapus angka kemiskinan ekstren yang berada di Tanah Air. Mengenai hal tersebut, Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Undang-Undang Cipta Kerja, Arif Budimanta menjelaskan bahwa skema itu memang telah menjadi target Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka mewujudkan angka kemiskinan ekstrem pada bangsa ini menjadi nol persen tahun 2024.
Selain itu, diharapkan pula dengan adanya skema kemitraan sebagaimana dalam UU Cipta Kerja tersebut, maka ke depannya mampu mewujudkan suatu kondisi yang setara sehingga tidak ada pihak manapun yang tertinggal dalam seluruh proses tumbuh kembang Indonesia.
Penghapusan kelompok masyarakat dengan kemiskinan ekstrem sendiri memang telah menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang akan ditargetkan pada tahun 2030 mendatang. Meski begitu, untuk semakin mempercepat akan terlaksananya target tersebut, Presiden Jokowi kemudian memberikan instruksi agar bisa langsung terlaksana 2024 ini.
Kebijakan untuk menghapus kemiskinan ekstrem sendiri melalui UU Cipta Kerja dengan skema kemitraan menggandeng pelaku UMKM telah termaktib dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Pemerintah sangat berharap dengan adanya skema kemitraan itu dapat semakin terbangun soliditas dengan melibatkan golongan pengusaha besar dan pengusaha di tingkat menengah, kecil bahkan mikro.
Pemerintah pun berharap bahwa semakin banyak kemitraan yang mampu terjalin antara perusahaan besar dengan pelaku UMKM. Karena dengan menjadi salah satu bagian dari rantai pasok atau supply chain dari perusahaan besar, maka pelaku UMKM akan dapat semakin berkembang dan membantu pertumbuhan ekonomi nasional juga.
Bukan hanya itu, namun dengan adanya skema kemitraan yang melibatkan pelaku UMKM, secara otomatis juga akan mampu menambah lapangan pekerjaan dan memungkinkan mereka bisa menjalankan usaha secara berkelanjutan. Pasalnya, sebagaimana diketahui bahwa UMKM merupakan sektor yang paling besar dalam menyerap tenaga kerja, yakni hingga 97 persen dari total lapangan kerja di Indonesia.
Penyerapan lapangan kerja tersebut sebagai hasil UMKM yang mampu berkelanjutan melalui konsep atau skema kemitraan dengan perusahaan besar sebagaimana tertuang dalam mandat UU Cipta Kerja, sehingga pada akhirnya akan membantu misi Pemerintah RI untuk menghapus angka kemiskinan ekstrem di Tanah Air.
Membahas mengenai adanya upaya Pemerintah RI untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia, Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Gunawan Sumodiningrat mengatakan bahwa langkah yang dilakukan oleh pemerintah tersebut telah sesuai sebagaimana falsafah dasar negara, yakni Pancasila yang juga telah tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di dalamnya, jelas dikatakan bahwa Pemerintah RI harus mampu memajukan kesejahteraan umum dengan segala cara dan melalui berbagai langkah kebijakan yang konkret, seperti dilakukannya skema kemitraan dengan pelaku UMKM dalam UU Ciptaker ini. Menurut pakar tersebut, UU Cipta Kerja juga sebuah peraturan yang menciptakan kesempatan kerja.
Keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sendiri juga dianggap sebagai bentuk autokritik yang dilakukan oleh Pemerintah. Pasalnya sejak jaman reformasi sampai saat ini, memang banyak kebijakan yang bisa dikatakan saling tumpang tindih dibentuk sehingga semakin mempersulit sektor riil di masyarakat.
Terkait hal tersebut, Ekonom Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Lukman Hakim menjelaskan bahwa berangkat dari kenyataan itu, sehingga pemerintah melakukan introspeksi dan menggencarkan deregulasi secara besar. Terlebih, bagaimana respon pasar modal terhadap UU Cipta Kerja sendiri juga sangat bagus, karena terlihat dari adanya sentimen positif yang muncul usai Omnibus Law itu disahkan pemerintah.
Para pemodal jelas mengharapkan adanya dampak secara signifikan dari regulasi itu, khususnya mengenai pemangkasan dan penyederhanaan seluruh regulasi sebelumnya yang memang saling tumpang tindih. Ketika dilakukan deregulasi, maka juga secara otomatis akan mampu mengurangi adanya kemungkinan atau celah bagi korupsi berbentuk pungutan liar (pungli).
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini sektor riil memang cukup mengalami kesulitan, karena adanya peningkatan ongkos transaksi, yang mana ternyata hal tersebut terjadi akibat pungli yang merajalela ketika seseorang hendak memulai bisnis. Ketika terjadi tumpang tindih regulasi, maka mengakibatkan banyak masalah terjadi, termasuk banyaknya perusahaan besar yang kemudian memilih hengkang dari Indonesia karena ruang pungli sangat besar.
Skema kemitraan antara perusahaan besar dengan para pelaku UMKM yang termaktub dalam UU Cipta Kerja jelas akan semakin menggelorakan sektor riil di tengah masyarakat. Pasalnya, hal tersebut memungkinkan UMKM menjadi semakin bertumbuh sehingga juga akan bisa menciptakan banyak lapangan kerja pula untuk kesejahteraan masyarakat demi menekan angka kemiskinan ekstrem.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara