UU Cipta Kerja Upaya Konkret Wujudkan Pemulihan Ekonomi
Oleh : zakaria )*
Pemerintah telah mengesahkan UU Cipta Kerja. Langkah pemangkasan regulasi tersebut dianggap tepat karena dapat menarik investor dan mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi covid-19.
Kita semua tahu bahwa pandemi Covid-19 sempat membuat sektor perekonomian di Indonesia menjadi kacau. Daya beli masyarakat menurun dan hampir setiap hari tersiar kabar PHK ataupun karyawan yang dirumahkan. Permasalahan ini tentu saja harus ditangani seiring dengan upaya penanganan pandemi di sektor kesehatan.
Untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi, tentu saja diperlukan regulasi yang mendukungnya, regulasi yang telah dirumuskan oleh pemerintah adalah UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diyakini akan mendorong pertumbuhan bisnis dan investasi di Tanah Air melalui reformasi regulasi dan kemudahan berusaha. Kehadirannya dapat menjadi akselerasi pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 yang masih mencengkeram Indonesia dan Dunia.
Uki Dhaniswara K Harjono selaku pakar Hukum Pembangunan Ekonomi, memberikan apresiasi terhadap pemerintah yang telah menghadirkan produk hukum baru, dimana regulasi tersebut dinilai memberikan harapan bagi Indonesia untuk memulihkan ekonomi, regulasi tersebut adalah UU Cipta Kerja.
UU Cipta kerja (Ciptaker) yang terdiri dari 116 pasal ini, mampu merevisi 77 UU dimana sebelumnya ternyata berisi undang-undang yang saling tumpang tindih dan tidak ada kepastian.
UU Ciptaker sendiri, menyentuh masalah perizinan dan penanaman modal di mana penerapan dari UU ini merupakan upaya dalam meningkatkan investasi yang akan membuka lapangan kerja lebih luas.
Dirinya berujar, salah satu sisi positif dari UU Cipta Kerja adalah, kemudahan dalam membangun perusahaan, jika dulu membangun perusahaan dibutuhkan dana minimal Rp 50 juta, maka dengan adanya UU Cipta kerja, regulasi tersebut ditiadakan.
Uki menilai, UU Cipta kerja juga sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada serta tantangan ke depan.
Seperti memanfaatkan bonus demografi ang akan dialami Indonesia dalam 10-20 tahun mendatang, kemudian menyederhanakan, menyinkronkan dan memangkas regulasi dikarenakan terlalu banyaknya aturan yang diterbitkan di pusat dan daerah yang menghambat kegiatan berusaha dan penciptaan lapangan kerja.
Uki mengatakan, pada tahun 2030 nanti Indonesia akan mengalami bonus demografi dimana puncaknya adalah pada tahun 2040. Artinya, jumlah usia produktif komposisinya jauh lebih besar. Sehingga diperlukan solusi konkrit untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatan lapangan kerja.
Survei dari BPS mengatakan, pada tahun 2030 nanti, setidaknya akan ada tambahan 52 juta penduduk usia produktif yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Ironisnya justru saat ini Indonesia masih dihadapkan pada persoalan regulasi yang menghambat penyediaan lapangan kerja dalam jumlah besar.
Apalagi terdapat 44 ribu aturan yang menghambat iklim investasi maupun dunia usaha, mulai dari Perpres, Perppu, PP, Perda, Pergub dan lainnya. Sehingga regulasi di Indonesia baik di pusat maupun daerah terlalu gemuk. Hal tersebut tentu saja menjadi hambatan bagi orang yang ingin berusaha atau membuka lapangan kerja di Indonesia.
Menurutnya, bonus demografi di Indonesia layaknya pedang bermata dua. Bila tidak dipersiapkan lapangan kerja, justru akan berdampak buruk di masa depan.
Oleh karena itu, pemerintah melalui UU Cipta Kerja, sedini mungkin berupaya untuk mempermudah regulasi terkait dengan perizinan berusaha di Indonesia. Hal tersebut sangat positif untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, sehingga mampu menarik lebih banyak investor baik dari dalam maupun luar negeri. Tujuannya agar ekonomi kembali pulih dan bonus demografi tidak menimbulkan masalah.
Uki menambahkan, bahwa Indonesia masih memiliki PR yang belum terselesaikan, yakni kesenjangan sosial. Hasil kajian TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) Indonesia masih berada di urutan keempat di dunia tentang kesenjangan sosial.
Pada kesempatan sebelumnya, Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan bahwa peningkatan iklim bisnis dan investasi Indonesia adalah suatu keharusan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan sinergi yang kuat antara Pemerintah dengan seluruh stakeholder.
Pemerintah juga memiliki target, bahwa nantinya ekonomi Indonesia dapat tumbuh di kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen pada tahun 2021, dengan inflasi yang tetap terjaga di kisaran 3 persen.
Permasalahan ekonomi di Indonesia tentu harus diatasi, pemulihan ekonomi menjadi keniscayaan jika didukung dengan adanya regulasi yang mampu mewujudkan upaya pemulihan ekonomi.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini