UU KPK Hasil Revisi: Sah Berlaku Sejak 17 Oktober 2019
Oleh : Erlangga Pratama*)
Sejak 17 Oktober 2019, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi sudah sah untuk dilaksanakan, dan sejak saat ini lembaga anti rasuah yang saat ini dijabat oleh Irjen Pol Firli memiliki payung hukum yang diharapkan akan mampu membawa organisasi semakin kuat dan semakin galak menangkap dan membawa pesakitan koruptor ke meja hijau.
Jika masih ada kalangan yang “kurang puas” atau “mencurigai” UU KPK hasil revisi mau melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti dikemukakan salah satu Presiden BEM dari universitas ternama di Bandung, Jawa Barat ini bahkan mereka berharap Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu. Perppu sendiri diatur dalam Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebenarnya adalah manuver yang sia-sia, karena berbagai kalangan akademisi, praktisi hukum, pengacara dan lain-lainnya sudah menyakini bahwa UU KPK hasil revisi bukan untuk melemahkan KPK, namun semakin menguatkan lembaga yang sudah berhasil memborgol ratusan politisi, eks pejabat negara, pengusaha dan koruptor lainnya ini.
Penulis sebenarnya menyadari jika masih ada kalangan elemen mahasiswa atau organisasi aktifis yang “memperkarakan” UU KPK hasil revisi. Namun, jika militansi penolakannya tersebut bukan berasal dari hasil pembacaan atau hasil analisis mereka terkait UU KPK yang baru, bahkan lebih konyolnya hanya berdasarkan informasi dari media sosial yang “relevant, actual, timelines, completeness dan accuracy”nya atau dikenal dengan struktur algoritma tersebut masih dipertanyakan, sungguh jelas sangat disayangkan, karena pemberitaan di media sosial yang belum jelas sumber dan kebenarannya.
Namun kalangan BEM juga patut memperhatikan pernyataan Dr. Supardji Ahmad SH., MH. Menurut Kaprodi Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini, mahasiswa jika berdemonstrasi harus membahas terlebih dahulu substansi sebelum melakukan aksi, jika kalian tidak paham subtansi kalian akan memalukan diri sendiri apalagi dipertontonkan oleh orang banyak, jadi kesimpulan kalian harus paham dan rajin rajinlah belajar serta menguasai masalah. Bagaimanapun langkah pemerintah merevisi UU KPK merupakan langkah yang terbaik, karena KPK sekarang banyak digunakan oleh segelintir orang yang mempunyai kepentingan kelompoknya, padahal amanah undang-undang mengharuskan KPK bersikap netral.
Salah satu kerawanan aksi saat ini yaitu lebih banyak dipengaruhi oleh masyarakat saat ini menganggap bahwa KPK dilemahkan, padahal revisi tersebut dibuat sebagai penyesuaian dengan jaman sekarang. Musyawarah sebagai media penyelesaian masalah merupakan budaya Indonesia yang harus dijunjung tinggi sesuai ideologi Pancasila. Dari hal tersebut, Indonesia berkaca pada hukum di luar negeri yang sudah memberlakukan sanksi sosial kepada pelanggar hukum, termasuk koruptor.
Menurut Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H, M.M, KPK merupakan lembaga eksekutif yang memilik independensi dalam menangani korupsi. Dibentuknya Dewan Pengawas adalah untuk meningkatkan kinerja KPK dalam penanganan kasus. Selanjutnya berkaitan dengan mekanisme penyadapan memang tergolong ke dalam pelanggaran HAM, maka diperlukan mekanisme pelaporan sehingga KPK tidak menyadap dengan semena-mena.
“Lembaga sebesar KPK seharusnya dapat menyelesaikan kasus-kasus besar yang nilainya diatas Rp 100 juta dan harus diberi waktu paling lama 2 tahun untuk menyelesaikan, jika tidak maka harus ada SP3. Kemudian sistem kepegawaian menjadi ASN digunakan sehingga status pegawai KPK menjadi jelas,” ujar Guru Besar Hukum Universitas Borobudur itu.
Jika kalangan BEM atau aktifis lainnya ingin melakukan judicial review atau legislative review terkait UU KPK ini, tampaknya mereka perlu memahami apa makna dan kesulitan yang akan ditempuhnya. Bagaimanapun juga, Indonesia sebagai negara hukum memiliki jalur dalam penyelesaian perdebatan yang berkaitan dengan hukum diantaranya judicial review, legislative review, dan Perpu. Paradigma UU KPK menimbulkan persepsi jika negara ini memiliki masalah besar dalam hal korupsi, maka melalui prosedur tersebut masyarakat dapat mengajukan aspirasi apabila keberatan dengan revisi UU KPK.
Melalui Judicial Review, UU dapat dilihat apakah sudah sesuai dengan UUD 1945 dan semua elemen masyarakat dapat mengajukan judicial review. Akan tetapi, judicial review memiliki kelemahan, yaitu prosesnya yang panjang dengan estimasi waktu minimal satu tahun dan UU harus sudah berlaku apabila akan mengajukan judicial review.
Kemudian jika melalui legislative review digunakan dalam rangka meninjau kembali UU yang telah disahkan melalui mekanisme politik dan kepentingan politik didalamnya yang menjadi kelemahan legislative review. Kalangan mahasiswa dan aktifis harus ingin, anggota parlemen yang paling kritis seperti Fadli Zond an Fachri Hamzahpun, konon, mendukung revisi UU KPK ini.
Sedangkan, Perppu dikeluarkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa dalam waktu yang relatif lebih cepat. Akan tetapi perlu adanya persetujuan DPR apabila Perppu tersebut akan disahkan menjadi UU.
Menurut penulis, dengan adanya UU KPK yang direvisi justru memperkuat dan memperkokoh mekanisme karena di setiap dakwaan atau tuntutan dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis dengan adanya berita acara yang di terbitkan oleh Dewan Pengawas KPK. Jika Presiden mengeluarkan Perppu, maka marwah negara bisa jelek karena baru saja disahkan dan langsung digantikan oleh Perppu. Oleh karena itu, langkah Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu terkait revisi UU KPK adalah langkah yang tepat dan brilian, karena berdasarkan law strategic assessment yang dapat dipertanggungjawabkan. Semoga
)* Penulis adalah pemerhati masalah hukum.