Wamenkumham Tegaskan Visi Misi KUHP Baru sebagai Upaya Dekolonisasi
Jakarta – Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy) menegaskan terkait visi dan misi yang terdapat dalam KUHP baru, menurutnya hal tersebut merupakan upaya dekolonisasi dari KUHP lama produk kolonial Belanda yang sudah ratusan tahun lalu dibuat.
Eddy menjabarkan visi dan misi mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang beberapa waktu lalu telah disahkan oleh DPR RI.
Menurutnya, dengan adanya KUHP tersebut sangat mampu untuk menghilangkan nuansa kolonial, utamanya adalah yang termaktub pada buku satu. Terdapat sekitar 80% hingga 90% perubahan jika dibandingkan dengan KUHP lama peninggalan Belanda.
Namun, untuk buku kedua sendiri, yang mana di dalamnya menyangkut hukum pidana, tidak terjadi banyak perubahan. Dengan hal tersebut, sebenarnya bisa dikatakan bahwa memang hukum pidana memiliki sifat yang universal.
Wamenkumham memberikan contoh mengenai beberapa tindak pidana seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya memang di belahan dunia manapun adalah dianggap sebagai kejahatan.
Sehingga, memang yang terjadi banyak perubahan adalah bukan terkait tindak pidana, melainkan pada delik politik, delik kesusilaan hingga penghinaan.
“Saya katakan waktu itu, substansi buku dua atau substansi tindak pidana dari seluruh KUHP di dunia ini sama. Kecuali dalam tiga hal yaitu delik politik, delik kesusilaan dan penghinaan,” kata Eddy.
Dengan adanya sebagian hal yang diganti dan sebagian lagi masih tetap sama, memang prinsip dari KUHP baru adalah mencoba untuk menghimpun kembali beberapa ketentuan hukum pidana yang sebelumnya belum termaktub.
Dirinya menyatakan upaya ini bukanlah sebagai bentuk kodifikasi, melainkan sebuah rekodifikasi, yakni upaya untuk menyatukan kembali peraturan-peraturan tindak pidana dalam suatu KUHP.
“Oleh karena itu memang politik hukum pidana yang dipakai oleh pemerintah dan DPR, kita tidak pernah menyebut ini sebagai kodifikasi tetapi rekodifikasi,” ujar Eddy
Selanjutnya, terdapat upaya harmonisasi dalam KUHP baru, yang mana berusaha untuk melihat banyak ketentuan pidana di luar KUHP, dan dilakukan sinkronisasi dengan model pemidanaan yang berada dalam KUHP tersebut.
Maka tak heran, bahkan dalam pengesahan KUHP baru, Pasal 27 dan 28 UU ITE dicopot karena dianggap sangat mudah dipakai orang untuk berupaya menahan orang lain.
Sebagai informasi, UU ITE sendiri memiliki ancaman hukuman hingga 6 tahun kurungan.
Bukan lantas menghilangkan aturan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, namun dalam KUHP baru tetap tersedia dengan ancaman pidana yang telah dikurangi.
“Kita memasukkan berbagai ketentuan dalam UU ITE khususnya penghinaan dan pencemaran nama baik itu ke dalam KUHP tetapi ancaman pidana itu jauh dikurangi. Apa tujuannya? Supaya polisi sudah tidak bisa lagi menangkap dan menahan dengan ancaman pidana yang lebih dari lima tahun,” ungkap Eddy.
Lebih lanjut, pria berusia 49 tahun itu juga menjelaskan bahwa KUHP lama buatan Belanda sama sekali tidak relevan lagi karena usianya sudah sekitar 222 tahun.
Tidak hanya itu, namun dalam KUHP lama memiliki paradigma hukum sebagai pembalasan, sedangkan dalam KUHP baru, paradigmanya sangatlah berbeda sesuai dengan hukum pidana modern, yakni keadilan korektif.
“Keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif,” pungkas Eddy.