Waspada Hoax dan SARA Jelang Pemilu 2019
Oleh: Rizal Arifin )*
Indonesia memiliki keunikan sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Hanya ada beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang tidak terjangkit virus “Arabisasi”, salah satunya Indonesia. Ini adalah kearifan yang seharusnya kita junjung tinggi. Negeri ini memiliki warisan leluhur yang sangat kaya. Keanekaragaman suku bangsa dan agama ini tidak dimiliki oleh bangsa lain. Tidak ada negara yang berdiri dengan keragaman sekompleks itu. Niatan luhur para pendahulu bersama para pendiri bangsa yang menyatukan kita dalam satu wadah bernama Indonesia.
Indonesia memiliki keunikan sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Hanya ada beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang tidak terjangkit virus “Arabisasi”, salah satunya Indonesia. Ini adalah kearifan yang seharusnya kita junjung tinggi. Negeri ini memiliki warisan leluhur yang sangat kaya. Keanekaragaman suku bangsa dan agama ini tidak dimiliki oleh bangsa lain. Tidak ada negara yang berdiri dengan keragaman sekompleks itu. Niatan luhur para pendahulu bersama para pendiri bangsa yang menyatukan kita dalam satu wadah bernama Indonesia.
Dalam perkembangan geopolitik global, Indonesia masih mampu mempertahankan “keunikan” nya itu. Saat dunia bertransformasi menuju demokrasi, Indonesia mampu beradaptasi tanpa meninggalkan sedikitpun kearifan lokal. Itulah Indonesia, dengan segala kerumitan latar belakang primordial, bisa mengadopsi demokrasi. Bahwa demokrasi dan primordial berbasis agama dan suku, menimbulkan konflik berkepanjangan di belahan dunia lain. Sedangkan di Indonesia semua berjalan dalam koridornya.
Jelang gelaran Pemilu 2019, sepertinya kita sedang menghadapi ujian. Apa yang kita banggakan ini berusaha dihancurkan oleh sekelompok kepentingan. Sangat ironis memang, kekayaan yang sangat dijunjung tinggi diobrak abrik demi coblosan di bilik suara. SARA dijadikan komoditi untuk memecah belah keutuhan bangsa. Ini adalah cara berpolitik seorang pecundang karena tidak memiliki gagasan konstruktif sehingga hanya bisa mengadu domba basis primordial.
SARA adalah isu yang sensitif dan rumit bagi masyarakat Indonesia, hal itu tiidak dapat dihindari karena keberagaman yang kompleks. Tak jarang isu SARA menjadi sumber percikan konflik. Mungkin berkaca dari konflik berawal dari SARA ini lah, maka timbul inspirasi sekelompok pecundang untuk menjadikannya sebagai komoditi politik. Dahsyatnya, isu sensitif tersebut disajikan dengan kepalsuan. Tanpa data faktual pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan.
SARA yang dikemas hoaks adalah alat politik utama hari ini bagi pendompleng kebhinekaan. Mereka menyadari sikap etnosentris terpatri erat di masyarakat Indonesia sehinggamudah terprovokasi. Sangat perlu disadari, bahwa isu SARA dan hoax ini tidak datang secara alami, melainkan telah diagendakan secara sistematis dan terukur. Akibatnya, hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik dan menyebarkan ketakutan. Sehingga akan muncul sosok pahlawan palsu di tengah kegundahan masyarakat.
Kemajuan teknologi informasi turut serta disalahgunakan. Berita bohong dan isu SARA dengan cepat tersebar luar ke tengah publik yang dapat berubah menjadi bola panas yang siap membakar siapapun yang dilewatinya. Konten SARA begitu mudah diakses, tidak membutuhkan keahlian khusus untuk mendapatkannya. Wajar bila para pecundang politik semakin mudah melancarkan aksinya.
Lambat laun rekayasa perpecahan dengan memanfaatkan SARA dan hoax mulai disadari masyarakat. Kepada kelompok ini mereka menghasut memusuhi itu dan begitupun sebaliknya. Ketidakkonsistenan dalam keberpura-puraan sudah menjadi rahasia publik. Ini dampak dari penyebaran kebohongan, lambat laun akan terungkap sekalipun ditutupi dengan hoax baru.
Sempat terpatri di hati publik bahwa Prabowo Subianto sangat pro Islam. Terbukti dengan partisipasinya dalam berbagai gerakan jalanan yang mengatasnamakan Aksi Bela Islam. Sehingga timbul stigma bahwa Prabowo Subianto sebagai oposisi Pemerintah adalah pribadi yang Pro Islam. Namun, sang waktu tidak selalu berpihak kepada kebohongan. Beredarnya video Prabowo ikut merayakan natal dan pernyataan adiknya yang menerima dukungan PKI seperti menjilat ludah atas kebohongannya. Bahwa isu SARA sangat meresahkan masyarakat apalagi jika dikemas dengan desain kebohongan yang teragendakan.
Tentu tidak ada diantara kita yang menginginkan perpecahan menyangkut keberagaman. Apalagi hanya demi kepentingan politik dari pihak yang haus kekuasaan dan memiliki rekam jejak yang buruk. Masyarakat diminta untuk bernalar dalam mencerna informasi menyesatkan, karena sudah jelas ini adalah agenda busuk. Kebanggaan terhadap primordial telah disalahgunakan. Sembari memohon agar negeri yang elok ini dilindungi Yang Maha Penjaga teringat bahwa ratusan tahun yang lalu Imam Ghazali pernah bertitah “apabila ingin menguasai orang bodoh, maka bungkuslah sesuatu dengan Agama”.
*) Penulis adalah pengamat Sosial Politik
Dalam perkembangan geopolitik global, Indonesia masih mampu mempertahankan “keunikan” nya itu. Saat dunia bertransformasi menuju demokrasi, Indonesia mampu beradaptasi tanpa meninggalkan sedikitpun kearifan lokal. Itulah Indonesia, dengan segala kerumitan latar belakang primordial, bisa mengadopsi demokrasi. Bahwa demokrasi dan primordial berbasis agama dan suku, menimbulkan konflik berkepanjangan di belahan dunia lain. Sedangkan di Indonesia semua berjalan dalam koridornya.
Jelang gelaran Pemilu 2019, sepertinya kita sedang menghadapi ujian. Apa yang kita banggakan ini berusaha dihancurkan oleh sekelompok kepentingan. Sangat ironis memang, kekayaan yang sangat dijunjung tinggi diobrak abrik demi coblosan di bilik suara. SARA dijadikan komoditi untuk memecah belah keutuhan bangsa. Ini adalah cara berpolitik seorang pecundang karena tidak memiliki gagasan konstruktif sehingga hanya bisa mengadu domba basis primordial.
SARA adalah isu yang sensitif dan rumit bagi masyarakat Indonesia, hal itu tiidak dapat dihindari karena keberagaman yang kompleks. Tak jarang isu SARA menjadi sumber percikan konflik. Mungkin berkaca dari konflik berawal dari SARA ini lah, maka timbul inspirasi sekelompok pecundang untuk menjadikannya sebagai komoditi politik. Dahsyatnya, isu sensitif tersebut disajikan dengan kepalsuan. Tanpa data faktual pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan.
SARA yang dikemas hoaks adalah alat politik utama hari ini bagi pendompleng kebhinekaan. Mereka menyadari sikap etnosentris terpatri erat di masyarakat Indonesia sehinggamudah terprovokasi. Sangat perlu disadari, bahwa isu SARA dan hoax ini tidak datang secara alami, melainkan telah diagendakan secara sistematis dan terukur. Akibatnya, hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik dan menyebarkan ketakutan. Sehingga akan muncul sosok pahlawan palsu di tengah kegundahan masyarakat.
Kemajuan teknologi informasi turut serta disalahgunakan. Berita bohong dan isu SARA dengan cepat tersebar luar ke tengah publik yang dapat berubah menjadi bola panas yang siap membakar siapapun yang dilewatinya. Konten SARA begitu mudah diakses, tidak membutuhkan keahlian khusus untuk mendapatkannya. Wajar bila para pecundang politik semakin mudah melancarkan aksinya.
Lambat laun rekayasa perpecahan dengan memanfaatkan SARA dan hoax mulai disadari masyarakat. Kepada kelompok ini mereka menghasut memusuhi itu dan begitupun sebaliknya. Ketidakkonsistenan dalam keberpura-puraan sudah menjadi rahasia publik. Ini dampak dari penyebaran kebohongan, lambat laun akan terungkap sekalipun ditutupi dengan hoax baru.
Sempat terpatri di hati publik bahwa Prabowo Subianto sangat pro Islam. Terbukti dengan partisipasinya dalam berbagai gerakan jalanan yang mengatasnamakan Aksi Bela Islam. Sehingga timbul stigma bahwa Prabowo Subianto sebagai oposisi Pemerintah adalah pribadi yang Pro Islam. Namun, sang waktu tidak selalu berpihak kepada kebohongan. Beredarnya video Prabowo ikut merayakan natal dan pernyataan adiknya yang menerima dukungan PKI seperti menjilat ludah atas kebohongannya. Bahwa isu SARA sangat meresahkan masyarakat apalagi jika dikemas dengan desain kebohongan yang teragendakan.
Tentu tidak ada diantara kita yang menginginkan perpecahan menyangkut keberagaman. Apalagi hanya demi kepentingan politik dari pihak yang haus kekuasaan dan memiliki rekam jejak yang buruk. Masyarakat diminta untuk bernalar dalam mencerna informasi menyesatkan, karena sudah jelas ini adalah agenda busuk. Kebanggaan terhadap primordial telah disalahgunakan. Sembari memohon agar negeri yang elok ini dilindungi Yang Maha Penjaga teringat bahwa ratusan tahun yang lalu Imam Ghazali pernah bertitah “apabila ingin menguasai orang bodoh, maka bungkuslah sesuatu dengan Agama”.
*) Penulis adalah pengamat Sosial Politik