Waspada KAMI Goyang Kursi Presiden
Oleh : Haris Muwahid)*
Masyarakat makin antipati terhadap Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), karena mereka hanya jual tampang dan kenangan sebagai mantan pejabat. Bahkan keberadaan mereka juga dicurigai memiliki misi tersembunyi untuk membuat Presiden Jokowi dipaksa mengundurkan diri. Modus menyelamatkan Indonesia sangat basi karena mereka hanya ingin makar.
Para tokoh senior yang bergabung dalam KAMI berdalih Indonesia butuh diselamatkan karena kita sedang resesi. Mereka menuduh pemerintah kurang sigap menangani corona dan ada berbagai serangan lain dalam 8 tuntutan KAMI. Sayangnya manuver mereka tidak ampuh, karena masyarakat sudah paham politik dan sadar akan akal bulus KAMI.
Salah satu anggota KAMI bahkan berani melontarkan usulan agar segera dilaksanakan sidang istimewa MPR. Penyebabnya karena presiden mereka nilai tidak bisa menyelamatkan Indonesia. Tuduhan panas ini sangat tidak berdasar karena Jokowi sudah berusaha keras menolong rakyat dengan program bansos, BLT, pemulihan ekonomi nasional, dan lain-lain.
Dalam salah satu statement KAMI juga disebut bahwa “penguasa yang zalim ini bisa kita akhiri’. Kata zalim sangat menohok karena mereka menuduh presiden sebagai sosok yang negatif. Padahal kenyataannya jauh panggang dari api. Pernyataan itu hanya sebuah sentimen yang sangat subjektif. Buat apa pemerintahan diakhiri kalau kita baik-baik saja?
Muhammad Fauzan, akademisi dari Unsoed menyatakan bahwa pernyataan KAMI sudah termasuk tindakan makar. Dalam artian, jika mereka menyetir opini tentang pemerintah yang kurang perhatian terhadap rakyatnya, apalagi mengusulkan sidang istimewa, sudah jelas motifnya dalam menggulingkan kursi presiden. Apalagi menuduh presiden telah zalim.
Apalagi salah satu pentolan KAMI adalah Gatot Nurmantyo yang pada 2019 lalu ingin masuk bursa calon presiden, namun gagal karena tak ada dukungan partai. Misi rahasia KAMI agar Gatot jadi capres 2024 dan dipasangkan dengan Titiek Soeharto sudah tercium. Jika mereka tak sabar menunggu 4 tahun lagi, maka seenaknya menyuruh MPR untuk mengadakan sidang istimewa.
Politisi Kapitra Ampera juga berpendapat bahwa permintaan sidang istimewa sudah termasuk gerakan makar. Pemakzulan presiden hanya bisa terjadi saat ia terjerat kasus hukum tingkat berat, korupsi, dan alasan-alasan lain. Realitanya, Jokowi adalah presiden favorit kaum muda maupun tua, karena sangat bijaksana dan mau mendengarkan suara rakyat.
Kapitra menambahkan bahwa ia bingung, sebenarnya KAMI ini gerakan moral atau politis? Karena sudah terbaca modus operandinya untuk merebut kursi kepresidenan. Dalam artian, jika KAMI adalah gerakan moral, apakah sudah ada tindak lanjutnya untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi? Apakah mereka mau mengeluarkan uang dari kantong untuk menolong rakyat?
Jawabannya tentu saja tidak. KAMI sudah fix gerakan politis berbungkus modus menyelamatkan Indonesia. Rakyat sudah muak dengan keberadaan mereka dan menganggapnya pemecah belah bangsa. Hal ini terbukti dari banyaknya demo dan aksi damai untuk menolak masuknya KAMI ke Boyolali, Bandung, dan kota-kota lain di Indonesia.
Buat apa KAMI terus menuntut pemerintah dan menginginkan presiden mundur, jika mereka tidak mau ikut menolong rakyat? Mereka lupa bahwa kita butuh bukti, bukan sekadar janji. Jika ada deklarasi tambahan di berbagai kota, apakah ada solusi untuk negri? Belum tentu. Malah menyebabkan klaster corona baru, karena ada kerumunan massa.
Presiden adalah pilihan rakyat dan menyuruh Jokowi berhenti berarti menghianati rakyat. Untung saja presiden termasuk tipe yang cool dan tak memusingkan para haters. Bayangkan jika tuduhan KAMI ada di masa 25 tahun lalu? Bisa-bisa petrus bertindak kembali untuk memberantas pelaku makar.
Jika KAMI terus menyuarakan keburukan pemerintah, maka rakyat yang masih lugu bisa terpengaruh. Jangan mempercayai provokasi mereka apalagi mendukung terjadinya sidang istimewa. Karena tuduhan KAMI sangat tidak berdasar dan hanya berdasarkan dugaan, tanpa melihat fakta di lapangan.
)* Penulis adalah kontributor Gerakan Mahasiswa Jakarta