Waspada Kelompok Radikal Memanfaatkan Lembaga Amal
Oleh Muhammad Kiswanto)*
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahwa kelompok jaringan terorisme saat ini mengubah strateginya dalam menyebarkan faham radikal di Indonesia, itu terlihat dari adanya serangkaian penangkapan terhadap para terduga teroris dibeberapa lembaga, partai Islam, dan ormas Islam lainnya belakangan ini. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Direktur Derikalisasi BNPT, bahwa pola baru yang diterapkan teroris adalah dengan menggunakan sistem demokrasi untuk masuk dan meguasai lembaga secara formal.
Yang terbaru, laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan transaksi mencurigakan dari ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang diduga untuk mendukung kegiatan jaringan terorisme di dalam dan luar negeri. Selain itu, Bareskrim Mabes Polri telah melakukan pemanggilan terhadap mantan presiden ACT untuk memberikan klarifikasi atas pengelolaan dana pada lembaga tersebut, Sebelumnya, PPATK telah memblokir transaksi keuangan di 60 rekening atas nama Yayasan ACT terkait dugaan penggunaan dana untuk kepentingan pribadi dan terdapat dugaan aktivitas terlarang, Pemblokiran rekening itu dilakukan setelah PPATK menerima laporan dari 33 lembaga penyedia jasa keuangan.
Aksi Cepat Tanggap atau disingkat ACT adalah salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2018 hingga tahun 2020 lalu, lembaga ini disebut mengumpulkan dana masyarakat hingga ratusan miliyar. Dana ratusan miliar tersebut digunakan untuk berbagai program. Mulai dari membantu korban bencana alam hingga pembangunan sekolah, atau pun tempat ibadah. Akan tetapi pengelolaan dana ratusan miliar tersebut juga diduga bermasalah.
PPATK mengungkapkan beberapa dugaan kasus janggal yang menimpa ACT kaitannya dalam pengelolaan dana, diantaranya dugaan dana yang diterima dibisniskan, dugaan aliran dana ke Al-Qaeda, dugaan aliran dana berpotensi terkait terorisme, dugaan donasi untuk kepentingan pribadi, dugaan potong dana CSR 10-20 %, dugaan potong donasi 13,7% untuk gaji, dan dugaan tilap dana CSR kecelakaan Lion Air JT-610.
Beberapa dugaan kasus yang dialami oleh ACT tersebut adalah terkait aliran dana ke Al-Qaeda dan aliran dana ke jaringan teroris lainnya, berdasarkan kajian & database, PPATK menemukan adanya transaksi keuangan karyawan ACT dengan seseorang yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan pernah ditangkap di Turki, ACT juga diduga melakukan transaksi keuangan ke sejumlah negara dengan total dana sebesar Rp 1,7 miliyar yang diduga berpotensi merupakan transaksi terlarang.
Dalam pendanaan jaringan terorisme, kedok lembaga amal ditengah masyarakat Indonesia menjadi sumber dana yang signifikan dalam penguatan jaringan radikal, hal ini sangat efektif diterapkan di Indonesia, terlebih sifat masyarakat Indonesia yang dikenal dermawan, kondisi ini juga diperkuat dengan survei dari Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021 yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia, potensi inilah yang justru menjadi celah yang dimanfaatkan kelompok radikal dan teror untuk menggalang dana dengan modus donasi dan amal.
Didalam menangkal modus serupa, perlu dilakukan beberapa hal, diantaranya memperketat regulasi tentang pendanaan publik oleh lembaga-lembaga amal dan memunculkan Kementerian Sosial RI dan Kementerian terkait untuk menutup celah modus penggalangan dana melalui donasi serta filantropi. Selain itu perlu pula sosialisasi mengenai lembaga-lembaga amal atau donasi yang terkait dengan kelompok teror kepada para pemangku kepentingan yang memantau lembaga amal tersebut dan edukasi terhadap masyarakat agar lebih jeli serta selektif dalam memilih lembaga amal dan berdonasi.
Lebih lanjut, Pemerintah harus memperkut regulasi terkait dengan pendanaan publik oleh lembaga-lembaga amal karena selama ini pengumpulan dana umat hanya oleh Undang-undang Nomor 9 tahun 1961 tentang pengumpulan uang atau barang dan peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang pelaksanaan pengumpulan sumbangan, peraturan tersebut hanya mengatur soal sistem birokrasi perizinan, sementara itu aturan soal akuntabilitas dan sanksi jika terjadi kecurangan atau penyelewengan dan penyalahgunaan dana belum diatur.
Terorisme dan paham radikal menjadi musuh terbesar bangsa Indonesia karna bertujuan untuk memecah belah bangsa dan mendirikan negara Khilafah atau anti Pancasila, inovasi dan cara-cara kelompok radikal tersebut harus diantisipasi dengan pemahaman masyarakat Indonesia yang semakin mendalam terhadap kelompok-kelompok radikal terlarang, bahwa masyarakat harus mengenal dan memahami Pancasila secara harfiah dan sebagai falsafah Negara yang tak tergantikan, dan membentuk mindset. Apabila ada kelompok-kelompok yang ingin menggantikan dasar-dasar Negara Pancasila ke ideologi lain harus diartikan sebagai paham-paham terlarang/radikal, yang akan menghancurkan keutuhan dan kesatuan bangsa yang harus dilawan.
Hal ini harus diajarkan dan diedukasi dari tingkat pusat, tingkat daerah, para akademisi, guru-guru sampai dengan yang terkecil termasuk keluarga (orang tua) harus berperan bersama-sama secara konsisten dan masif, agar semakin tertanam nilai-nilai Pancasila kepada seluruh masyarakat bangsa Indonesia.