Waspada Radikalisme di Media Sosial
oleh : Panji Saputra )*
Media sosial adalah tempat untuk bersosialisasi di dunia maya dan kadang juga digunakan untuk tempat promosi. Sayangnya kemudahan akses media sosial ini disalahgunakan oleh kaum radikal. Mereka membuat berbagai konten yang akhirnya tersebar di Fanpage FB, Twitter, dan Instagram dan bisa mempengaruhi netizen untuk ikut membenci pemerintah.
Aksi kaum radikal semakin membuat miris karena setelah jarangnya teror bom, namun keberadaan kelompoknya masih ada. Rupanya mereka berpindah ke dunia maya untuk menebarkan ajarannya. Serta mengajak banyak orang untuk ikut menghujat pemerintah yang mereka anggap zalim, dan membenci pancasila. Jendral Ryamizard (Mantan Mentri Pertahananan) sampai menegaskan bahwa jika ada yang membenci pancasila, keluar saja dari Indonesia.
Rupanya kaum radikal tahu bagaiman cara bersembunyi dari pihak berwajib dan akhirnya mereka mengadakan gerakan gerilya di internet, khususnya media sosial. Mengapa harus media sosial? Karena orang Indonesia adalah pengguna terbesarnya di dunia, dan mereka cenderung untuk terlalu percaya pada suatu berita atau konten. Padahal bisa jadi itu hanya hoax yang dibuat oleh kaum radikal dan tidak diselidiki kebenarannya terlebih dahulu.
Kaum radikal melakukan beberapa cara dalam membuat konten di media sosial untuk turut mencari kader-kader baru. Di antaranya, mereka membuat fanpage atau akun Instagram palsu (fake account) lalu mengunggah gambar serta potongan berita yang memojokkan pemerintah. Padahal bisa jadi berita tersebut adalah hasil editan, atau screenshot dari media online abal-abal (kalau dulu disebut dengan koran kuning).
Ada berbagai macam konten yang dibuat oleh kaum radikal di akun media sosial mereka. Mulai dari fitnah bahwa pemerintah yang sekarang pro PKI (padahal bukan) dan kriminalisasi ulama (padahal sudah jelas bahwa pemuka agama tersebut yang melanggar peraturan lalu lintas dan PSBB). Ada pula konten tentang larangan merayakan hari-hari besar internasional di Indonesia, karena dibuat oleh kaum kafir. Padahal ketika merayakannya tidak mempengaruhi akidah agama seseorang.
Orang Indonesia ada yang cenderung bersumbu pendek dan malas untuk mencari tahu apakah konten itu benar atau hanya hoax. Mereka lalu tersulut emosi dan ikut-ikutan menghujat presiden. Mengapa mereka mudah sekali terpengaruh? Karena saat membuka media sosial, mereka ingin mencari hiburan sehingga membuat kondisi otaknya jadi santai, lalu alam bawah sadarnya bisa mudah dimasuki oleh pengaruh kaum radikal.
Rayuan kaum radikal di dunia maya khususnya media sosial sangat berbahaya. Oleh karena itu usulan tentang Undang-Undang anti radikalisme yang muncul beberapa saat lalu bisa dinaikkan kembali. Tujuannya agar kaum radikal bisa ditangkap lebih cepat karena sudah ada undang-undangnya. Mereka juga bisa dijerat dengan pasal dari undang-undang ITE karena hobi membuat berita hoax dan menciptakan kekacauan di dunia maya.
Cara lain untuk menangggulangi aksi kaum radikal di media sosial adalah menggerakkan kaum muda jadi duta damai. Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang rajin menyisir berita hoax dan mengungkapkan kebenarannya. Duta damai diprakarsai oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Para kader duta damai juga tidak mudah terprovokasi oleh propaganda di media sosial, serta membuat gambar dan konten positif di akun Instagram serta Twitternya. Mereka diajak juga untuk menentang terorisme, radikalisme, dan ikut menjaga keutuhan NKRI. Dengan membuat kampanye positif di media sosial dan menggalakkan hashtag #cintapancasila dan #sayaindonesiasayapancasila.
Jangan ikut tersulut emosi ketika ada gambar yang menarasikan tentang kekeliruan pemerintah. Periksa dulu kebenarannya, janga-jangan itu hasil editan yang sengaja di-upload oleh pemerintah. Kaum radikal makin getol promosi di sosial media karena mereka mudah membuat akun palsu dan dirasa aman dari jeratan hukum. Padahal mereka bisa terkena undang-undang anti ITE. BNPT juga membuat penghargaan duta damai agar generasi muda menciptakan konten berkualitas dan tidak mudah terkena hoax dari kaum radikal.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Jakarta