Waspada Radikalisme Masjid, Stop Provokasi dan Radikalisasi
Oleh : Usman Prayitno*
IPW atau Indonesia Police Watch menyebutkan bahwa kelompok radikal maupun eks teroris dapat beraksi dan tumbuh subur diantara euforia pemilu. Wilayah seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Papua adalah tempat – tempat strategis untuk melahirkan sel radikalisme. Pemilu merupakan wujud dari sebuah negara untuk menunjukkan eksistensinya dalam sistem demokrasi untuk mencari pemimpinl pilihan rakyat. Namun pemilu kali ini juga mendapatkan sorotan dari beberapa ulah ormas Islam Konservatif yang memiliki cita – cita untuk mendirikan khilafah di Indonesia.
Hal tersebut tentu cukup mengganggu ketentraman dan ketenangan masyarakat secara luas, apalagi paham radikalisme juga dapat menyebar secara cepat melalui sosial media. Berbagai fitnah dan kutipan ayat dilakukan beberapa golongan demi memenangkan kontes demokrasi pada Pemilu April 2019 mendatang.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP GP Ansor) Yaqut Cholil Koumas menyebut, terdapat kelompok radikal yang menginduk pada salah satu pasangan calon presiden. Menurut dia, kelompok radikal itu menyusupi agenda kepentingan mereka untuk mendirikan negara Islam.
“Mereka bukan merusak pemilu, tapi menginduk pada satu kontestasi, memasukkan agenda – agenda mereka, mendirikan negara Islam, khilafah islamiah atau NKRI bersyariat,” tutur Yaqut.
Presiden Jokowi juga pernah menyampaikan bahwa pembubaran ormas konservatif HTI bukanlah tindakan yang sewenang – wenang, karena pembubaran tersebut juga didasari oleh pengamatan yang cukup lama.
“Pemerintah mengkaji lama, telah mengalami dan juga masukan dari banyak kalangan dari para ulama dan masyarakat.” Tutur Jokowi.
Pencabutan tersebut dilakukan sebagai tindaklanjut dari peraturan pemerintah pengganti undang – undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan. Meski AD/ART HTI berlandaskan pada Pancasila, namun dalam fakta di lapangan, kegiatan dan aktivitas HTI banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan jiwa NKRI.
Hal ini senada dengan penuturan yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo yang menilai suasana pesta demokrasi saat ini belum damai karena sejumlah ancaman radikalisme, intoleransi dan terorisme. Dia pun meminta masyarakat mampu mendeteksi ancaman tersebut.
“Harapan kami, pemilu ini damai, aman, penuh kegembiraan tanpa ada gerakan yang bisa mengganggu pemilu dan menimbulkan keretakan sosial,” tutur Karyono
Salah satu ancaman pada pemilu saat ini adalah politik identitas yang mengedepankan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Bahkan, selama memasuki masa kampanye, ruang publik telah diisi ujaran kebencian dan hoaks.
Menurut Mahfud, ancaman tersebut adalah gerakan – gerakan radikal yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain. Hal ini didasari dari hasil survei yang menyebut bahwa 9 persen rakyat Indonesia tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Menurutnya, meski hanya 9 persen, itu dapat merusak negara.
“Hasil survei 9 persen rakyat Indonesia itu tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Kecil sih, tapi 9 persen dari 250 juta tuh berapa, kira – kira 25 juta kan. Kalau itu berteriak semua menggunakan media sosial, rusak negara ini,” tukas Mahfud.
Menurut Mahfud, jumlah tersebut berkembang karena masih ada orang yang tidak tahu nilai Pancasila. Untuk mengatasi hal tersebut, dibentuklah BPIP sebagai unit yang membantu presiden terkait dengan urusan ideologi kebangsaan. Lantas kita tentu mendapatkan sebuah tanda tanya besar, mengapa ormas konservatif seperti FPI berada di belakang Prabowo untuk memenangkan kontestasi politik 17 April. Mungkinkah hal ini ada kaitannya dengan gerakan 212 yang saat itu berhasil menjebloskan Ahok ke dalam penjara? Berbagai pertanyaan itu tentu akan memunculkan berbagai asumsi dan menimbulkan pertanyaan baru yang membutuhkan banyak referensi.
Dalam memilih pemimpin, tentu haruslah pemimpin yang mau menjaga dan merawat ideologi Pancasila, dengan keberagaman yang ada di Indonesia, tentu sikap radikalisme dan intoleransi tidak boleh tumbuh subur di Negara yang bhineka. Radikalisme berbalut dakwah yang dilakukan di masjid tentu tidaklah tindakan yang etis. Hal ini karena negara juga menjamin keamanan dan kebebasan warga negaranya untuk bebas memberikan pilihannya.
*Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Budaya