Waspadai Paham Radikal dari Persebaran Media Cetak
Oleh : Oji Saptaji )*
Meskipun Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah resmi dibubarkan dan ditetapkan sebagai ormas terlarang oleh pemerintah, namun pada kenyataannya pergerakan mereka masih eksis menyebarkan ajaran – ajarannya seperti paham radikalisme melalui Buletin Kaffah. Diketahui bahwa Bulettin Kaffah juga disebar di Masjid Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta.
Pada edisi perdananya Agustus 2017, Buletin Kaffah memberikan judul besar pada salah satu tulisannya yang bertajuk “Islam Kaffah”. Dalam artikel tersebut tertulis bahwa kaum Muslim diperintahkan untuk hanya melaksanakan segenap syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Selain itu tulisan yang perlu digarisbawahi adalah tulisan yang berbunyi ‘Tak sepatutnya kaum Muslim mempraktikkan aturan – aturan lain yang bersumber dari Barat yang diajarkan oleh Motesquie, Thomas Hobbes, John Locke dll yang melahirkan sistem politik demokrasi, atau yang diajarkan John maynard Keynes, David Ricardo dll yang melahirkan ekonomi kapitalisme.’
Di sisi lain, Buletin Kaffah berisi konten yang tidak berimbang yang menjatuhkan pasangan Capres no urut 1 Jokowi – Ma’ruf. Bahkan konten yang ada di dalamnya bisa menjurus pada makar.
Selain menyebarkan Buletin Kaffah, majalah HTI yang bernama Media Umat pun terus disebarkan ke penjuru Indonesia. Anehnya mereka mendaulat KH. Ma’ruf Amin sebagai dewan penasehat dalam Majalah Media Umat tersebut.
Dengan beredarnya Buletin Kaffah yang masih mengajarkan tentang khilafah tersebut, masyarakat harus tetap berhati – hati dalam membangun tulisan yang ada di dalamnya. Jika menemukannya, Jangan sampai disebar ulang kepada orang awam.
Buletin yang dulunya bernama Buletin Al – Islam tersebut, ternyata masih memberikan konten dengan topik yang sama, yaitu mengajak umat Islam untuk menerapkan Islam secara totalis dan mengganti ideologi Pancasila dengan konsep Khilafah Islamiyah.
Umat muslim memang tidak diperbolehkan untuk mengingkari perjalanan sejarah yang pernah dicapai di abad silam. Tetapi dalam sejarah, tidak ada keharusan mewujudkan kembali Khilafah Islamiyah di dunia
Tentu dalam hal ini besar harapan masyarakat kepada aparat yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas kepada pembuat dan penyebarnya, hal tersebut dikarenakan dapat mengancam keutuhan Republik Indonesia.
Buletin Kaffah tersebut diketahui menyebar dan menyasar di berbagai masjid, sehingga bisa diprediksi bahwa meski HTI sudah bubar, namun segala ide yang berkaitan dengan ideologi khilafah tidaklah bubar.
Hal ini tentu memberi tanda bahwa tempat ibadah seperti masjid sudah sepatutnya turut serta dalam menjaga kondusifitas para jamaah, agar tidak terprovokasi oleh paham khilafah sehingga dapat memunculkan permusuhan yang sangat merugikan.
Secara teknis tentu tidak dibenarkan bahwa ajaran khilafah yang terdapat pada Buletin Kaffah merupakan sistem kenegaraan Islam. Nabi Muhammad SAW tidak menyebut pemerintahannya sebagai khilafah, sedang para sahabat juga tidak memaksudkan khilafah itu sebagai sebuah sistem namun hanya sebagai sebutan untuk pengganti kepemimpinan.
Kita semestinya mengetahui bahwa salah satu bahaya dari radikalisme adalah jatuhnya korban jiwa, adanya aksi radikal yang tujuan awalnya untuk memerangi orang Yahudi atau yang tidak beragama Islam, tetapi justru dari penyerangan tersebut lebih banyak umat Islam yang menjadi korban, tentu jika dihitung secara akuntansi, maka aksi tersebut tidaklah balance.
Selain itu gerakan radikalisme ini mengajarkan seseorang bertindak dengan kekerasan, seakan mereka bukanlah manusia yang mempunyai hati. Padahal orang yang mereka sasar belum tentu benar – benar bersalah. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa sasarannya adalah umat non – islam maka mereka dengan mudahnya untuk melakukan penyerangan dengan alasan jihad. Sudah dengan jelas bahwa dalam Islam boleh melakukan penyerangan jika orang lain mengganggu, jika tidak maka haram untuk membunuhnya.
Paham radikalisme dalam bentuk apapun tentu akan mengancam nasionalisme bangsa. Mereka melakukan penyerangan pada masyarakat yang merupakan saudara sebangsa dan setanah air. Hal ini tentu sangat menodai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang digadang – gadang oleh founding father bangsa Indonesia. Jika alasan dari tindakan radikalisme adalah jihad, maka tentu masih ada cara lain untuk berjihad seperti melakukan perbaikan tingkat pendidikan atau turut membantu perbaikan ekonomi.
Terorisme dan radikalisme dengan cara kekerasan tentu hanya akan mencoreng nama baik Islam. Karena Islam yang sebenarnya mengajarkan kasih sayang dan tidak bersikap kaku kepada sesama. Para penganut radikal melakukan jihad dengan menghalalkan segala cara, sedangkan islam mengajarkan untuk melakukan jihad dengan tidak memusnahkan budaya, tetapi membawa budaya dan mengarahkannya ke Jalan Islam.
Para pengurus atau takmir masjid tentu memiliki tugas untuk berdakwah, dan memberikan pesan – pesan yang menyejukkan, karena takmir masjid memiliki peran vital dalam menjaga persatuan bangsa.
Tentu para penceramah atau da’i bisa mengadopsi konsep tawazun dalam menyusun materi ceramah maupun dakwah. Tawazun merupakan konsep keseimbangan dalam segala hal dan aspek kehidupan. Point keseimbangan yang penting yaitu seperti dalam hal naqli dan aqli, keseimbangan antara tekstual dan kontekstual. Jihad yang hanya mengandalkan doktrin yang kaku dan tekstual saja maka akan memberikan dampak negatif seperti aliran terorisme dan radikalisme.
Sistem demokrasi di Indonesia memang menjamin kebebasan mengutarakan pendapat, namun tentunya ada rambu – rambu atau aturan yang harus ditaati. Batasan atau aturan tersebut berlandaskan pada tindakan yang tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh karena itu gerakan penyebaran paham radikalisme dalam bentuk ceramah atau media cetak baik di lingkungan masjid atau di lingkungan manapun, jelas tidak boleh diizinkan, karena hal tersebut dapat menodai dan mengancam keamanan yang ada di masyarakat.
)* Penulis adalah pemerhati politik