Waspadai Politisasi Masjid
Oleh : Raditya Rahman )*
Bolehkan masjid menjadi ajang menyuarakan aspirasi dari tokoh politik untuk menumbangkan lawan politiknya, atau singkatnya bolehkan masjid dipolitisasi?
Tentu pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang absurd. Masjid, seperti halnya vihara, gereja atau tempat ibadah lainnya yang merupakan institusi sosial. Namun kepada siapa dan kelompok sosial manakah keberpihakan masjid dalam realitas sosial diabdikan?
Masjid memiliki potensi besar yang dilirik oleh politikus tak tahu diri, dimana terdapat politikus yang ingin menjadikan masjid sebagai salah satu kendaran politik demi memuaskan nafsu berkuasa mereka.
Harmoni agama dan kebangsaan menjadi sesuatu yang niscaya. Agama membutuhkan kekuasaan untuk menciptakan keteraturan. Demikian juga negara membutuhkan agama agar negara mempunyai nilai peradaban dan kemanusiaan.
Agama dan kekuasaan sudah menjadi saudara kembar. Layaknya anak kembar yang selalu kumpul, maka akan sering bertengkar dan ada yang terhegemoni.
Begitupula dengan tokoh agama dan tokoh partai yang memiliki kuasa, keduanya harus sinergi pada posisinya masing – masing. Maka sudah sewajibnya pemerintah memuat regulasi terkait fungsi Masjid sebagai tempat ibadah.
Pada tahun 2018, muncul kasus baru, yaitu dipasangnya baliho berukuran raksasa dengan tulisan #2019gantipresiden, yang dipasang tepat di depan masjid di Sumatera Utara.
Lalu apa sebenarnya politisasi masjid yang dimaksud? Jika yang dimaksud adalah menjadikan masjid sebagai sarana untuk mendukung calon atau bahkan mencaci maki calon dari partai lain, tentu hal ini sangatlah tidak diperbolehkan.
Mantan Ketua MPR Amien Rais pernah berucap bahwa agama dan negara tidak boleh dipisahkan, dan semua urusan dunia di masjid adalah sah.
Prinsip itulah yang digemakan oleh Amien Rais, yang membuat gaduh masyarakat sehingga terpecahlan menjadi 2 kubu antara kubu pro dan kontra. Pesan terbuka dari Amien Rais sontak merambat cepat dan memunculkan kecemasan berikutnya yaitu politisasi masjid.
Yang menjadi masalah adalah, “pesan politik” apa yang akan disisipkan dan “kesadaran politik apa yang hendak dibangun?, karena keduanya berkolerasi erat dengan pihak mana yang diuntungkan oleh penyisipan polikitk pada acara – acara keagamaan.
Ketika rumah ibadah seperti masjid menjadi tempat untuk membicarakan politik praktis, pragmatis makan akan menimbulkan sengketa atau konflik diantara jemaat itu sendiri, karena aspirasi mereka berbeda – beda.
Di masjid, kampanye politik memungkinkan untuk disajikan dalam bakutan nuansa agama. Upaya untuk menggiring opini publik dan memobilisasi massa dilakukan dengan menukil dan mengadopsi satu atau dua ayat kitab suci Al – Qur’an. Perjuangan politik berorientasi kekuasaan digambarkan seolah – olah sebagai perjuangan agama yang penuh kesucian.
Politisasi masjid berimplikasi pada 2 hal. Di satu sisi tindakan tersebut tak pelak merupakan ancaman serius bagi demokrasi. Keterlibatan unsur alama dalam politik praktis terbukti telah memunculkan banyak hal negatif, mulai dari diskriminasi, potensi perpecahan dan konflik sosial yang mengakibatkan renggangnya tali persaudaraan.
Di sisi lain, politisasi masjid merupakan perilaku yang merendahkan nilai – nilai agama yang pada umumnya mengajarkan tentang ketuhanan, perdamaian indah lainnya.
Di Indonesia, tempat ibadah menjadi salah satu unsur pernting bagi kehidupan bermasyarakat, pertautan antara agama dan politik adalah hal yang niscaya.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk anti terhadap politik. Secara mencatat bahwa Islam merupakan agama yang politis. Namun, corak politik yang dimainkan islam bukanlah corak politik kekuasaan yang menghalalkan segala cara demi meraup suara. Politik Islam adalah politik tingkat tinggi yang berorientasi pada kemanusiaan.
Ancaman nyata akan adalanya politisasi masjid ialah terbelahnya umat, masjid sudah semestinya menjadi tempat yang menyejukkan dan menentramkan jiwa, bukan sebagai ajang mendulang suara dengan menjatuhkan lawan politik. Yang lebih parah adalah politikus yang ingin menjadikan masjid sebagai panggung kampanye politik yang dengan seenaknya mengutip ayat – ayat dan hadist nabi untuk mendukung kepentingan mereka.
Ancaman selanjutnya adalah hilangnya makna kesucian masjid itu sendiri. Politisasi masjid merupakan sebuah kejahatan yang nyata, karena orang yang menggunakan masjid sebagai panggung kampanye, berarti telah memanipulasi masjid demi kepentingan pribadi.
Kita semua tentu berharap agar tidak ada kegaduhan politik yang sudah dimulai dari dalam masjid, karena masjid merupakan tempat yang suci bagi umat muslim, oleh karena itu sudah sepantasnya untuk menjadikan masjid dan wilayahnya terbebas di politisasi masjid.
Tentu bukan berarti urusan politik tidak boleh dibahas di masjid, pembahasan politik di masjid seharusnya menciptakan toleransi di masyarakat, tidak berisi caci maki dan hinaan ataupun pesan – pesan dekstruktif yang dapat menimbulkan perpecahan.
Tentu masih banyak materi yang lebih berfaedah daripada politisasi masjid, misalnya ketika masjid digunakan untuk menyebarkan cinta, karena banyak warga yang membutuhkan pesan tersebut untuk menjaga kesejukan dan kedamaian yang terselip damal materi ceramah.
Selain itu masalah tentang ekonomi sepertinya bisa menjadi opsi untuk materi ceramah, hal ini dirasa perlu karena masih ada kesenjangan yang luar biasa. Lapangan kerja juga susah untuk didapat. Sehingga diperlukan sisipan semangat ataupun motivasi dalam materi ceramahnya.
)* Penulis adalah pemerhati politik