Waspadai Radikalisme dan Politik Identitas Jelang Pemilu 2024
Radikalisme dan politik identitas merupakan hal yang patut diwaspadai menjelang Pemilu 2024. Dengan adanya kesadaran bersama untuk menolak hal tersebut, maka Pemilu 2024 diyakini akan berjalan lancar.
Pemilu akan dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024. Pemilu tahun depan sangat dinantikan karena banyak orang penasaran akan presiden baru yang akan menggantikan Presiden Jokowi, yang sudah hampir purna tugas. Pemilu adalah program 5 tahun sekali dan disebut sebagai pesta demokrasi, karena menjadi ajang untuk menegakkan demokrasi di negeri ini.
Akan tetapi Pemilu terancam oleh radikalisme yang berpotensi menggagalkan program ini. Masyarakat dihimbau untuk mewaspadai radikalisme agar tidak terpengaruh, bahkan menjadi anggota kelompok radikal dan teroris. Radikalisme berbahaya karena bisa merusak negara dan mengacaukan Pemilu 2024.
Pengamat Politik Ahmad Sihabudin menyatakan bahwa secara masif kelompok radikal memproduksi beragam konten radikal dan terorisme. Salah satu karakteristik media sosial yang bersifat terbuka, maka informasi radikalisme itu tersebar luas tanpa adanya sekat geografis maupun demografis.
Ahmad Sihabudin melanjutkan, paham radikal bisa berkembang subur di kalangan pengguna media sosial di Indonesia. Kelompok teroris internasional seperti ISIS sudah menggunakan media sosial untuk mempengaruhi netizen di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu masyarakat wajib mewaspadai penyebaran konten radikal di dunia maya, terlebih jelang Pemilu 2024.
Menurut survei dari We Are Social, media sosial telah menjadi media arus utama bagi masyarakat. Setidaknya sampai Januari 2023, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia tercatat sebanyak 167 juta orang. Sementara rata-rata waktu yang digunakan masyarakat Indonesia bermedia sosial adalah 3 jam 18 menit setiap harinya.
Banyaknya konten radikal di media sosial sangat meresahkan karena berpotensi menggagalkan Pemilu 2024. Bayangkan ketika 167 juta orang Indonesia membaca dan menonton konten radikal di media sosial, maka sebagian dari mereka akan terpengaruh. Apalagi menurut ilmu psikologi, netizen percaya pada konten di dunia maya karena kondisi otak mereka dalam keadaan rileks.
Saat sudah teracuni oleh radikalisme maka masyarakat akan digiring lewat alam bawah sadarnya. Mereka pelan-pelan percaya bahwa pemerintah itu buruk dan siapapun presidennya akan sama saja. Dengan bersikap skeptis seperti ini maka berbahaya karena akan menaikkan tingkat golput (golongan putih) di Indonesia.
Ketika ada banyak orang yang golput maka akan mengancam demokrasi dan berpotensi menggagalkan Pemilu 2024. Oleh karena itu masyarakat dihimbau untuk menghindari konten radikal dan mewaspadai isu-isu terorisme di media sosial. Jangan sampai terpengaruh radikalisme lalu jadi warga negara yang tidak baik, yang menyia-nyiakan kesempatan untuk memberi suara pada Pemilu 2024.
Untuk mecegah penyebaran radikalisme maka masyarakat bisa langsung melaporkan ke polisi siber jika menemukan konten radikal dan teroris. Setelah dilaporkan maka akan diusut dan konten tersebut dihapus oleh pengelola media sosial. Nantinya polisi siber akan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sehingga ditemukan siapa pengunggah dan pembuat konten radikal tersebut.
Sementara itu, politik identitas juga mengancam Pemilu 2024. Isu politik identitas mengundang perhatian salah satu tokoh Ormas Islam DIY, yakni Ustad Umar Said. Ia berharap, masyarakat bisa menahan diri. Dengan begitu, tidak ada gejolak dalam Pemilu 2024 yang bisa mengantarkan suatu perpecahan.
Ustad Umar Said menyatakan bahwa sebenarnya perpecahan itu tidak bisa ditoleransi untuk setiap tahapan tahunan pada Pemilu. Dia berharap tidak ada kelompok atau golongan yang menggulirkan isu politik identitas. Sebab hal itu dapat menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.
Ustad Umar juga berharap tidak ada capres atau caleg yang berkampanye dengan menggunakan politik identitas. Semua peserta Pemilu 2024, agar dapat bersikap bijaksana ketika memberikan pernyataan kepada masyarakat. Jangan sampai pernyataan itu menggiring opini publik ke ranah perpecahan, dan para politisi harus bisa mengendalikan diri.
Dalam artian, politik identitas berbahaya karena digunakan sebagai alat kampanye yang salah. Di mana seorang caleg memperlihatkan identitasnya sebagai suku / golongan tertentu yang superior, dengan harapan akan menarik minat dari pemilih dengan suku yang sama. Akan tetapi politik identitas menjadi blunder karena suku / golongan lain merasa tidak terima dan akhirnya mengobarkan permusuhan saat kampanye Pemilu 2024.
Politik identitas sangat berbahaya karena bisa menganggap orang yang tidak satu keyakinan atau etnis adalah musuh. Bahkan bisa dipakai oleh seorang politisi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Caranya dengan menggiring opini publik bahwa seorang capres tidak layak menjadi pemimpin karena berasal dari etnis tertentu.
Masyarakat diminta untuk mewaspadai radikalisme karena akan berpotensi menggagalkan Pemilu 2024. Selain itu, politik identitas juga harus dihindari, karena bisa memecah-belah rakyat Indonesia. Persatuan harus diutamakan dan jangan ada pihak yang menghembuskan isu politik identitas, dan radikalisme wajib diberantas agar tidak ada serangan dari kelompok teroris di dunia maya.