Webinar Moya Institute Tegaskan Kontribusi Indonesia Selesaikan Konflik Palestina-Israel
Jakarta – Keteguhan Indonesia mendukung kemerdekaan penuih untuk Palestina tidak pernah luntur dari berpuluh tahun lalu. Semua Langkah politik internasional Indonesia dari masa ke masa selalu menyuarakan perdamaian dan kemerdekaan penuh bagi Palestina menjadi negara yang berdaulat.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti menganggap bahwa perang Palestina – Israel merupakan konflik multidimensi karena tidak hanya memandang aspek geopolitik, namun juga klaim teologis kaum zionis yang memandang tanah Palestina itu sebagai tanah nenek moyangnya.
“Dimensi kedua yakni politik juga kental dalam perang Israel-Palestina. Oleh karena itu, seluruh pihak sepakat menilai solusi politik lebih cocok untuk menyelesaikan perang tersebut. “Two-state solution atau solusi dua negara adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa, karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu, hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina, yang dinilai sebagai penjajahan,” ungkap Mu’ti dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Konflik Palestina-Israel : Peluang Penyelesaian” yang dikutip Sabtu, 18 November 2023.
Mantan Dubes RI untuk Ukraina, Yuddy Chrisnandi menegaskan bahwa Indonesia memiliki peran strategis dalam mewujudkan perdamaian Palestina dan Israel karena Indonesia memiliki daya tawar besar di antara negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Hal ini juga dikarenakan Indonesia merupakan negara muslim terbesar serta menganut politik bebas aktif dan mengecam penuh segala macam penjajahan di atas dunia.
“Negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia, dalam menyuarakan kepentingan umat Islam,” ujar Yuddy.
Prof Imron Cotan sebagai Pemerhati Isu-isu Strategis dan Global berpendapat ada perbedaan mendasar antara orang Yahudi dengan gerakan zionisme. Orang Yahudi itu secara umum baik, karena ada persamaan kaidah keagamaan dengan Islam. Sedangkan zionisme, adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi di tanah Palestina, menolak berdirinya negara Palestina.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, pun menyoroti Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang dianggap sebagai penjahat perang atas serangan terhadap Gaza, Palestina.
Namun, tantangan hukum muncul karena Israel bukan anggota Statuta Roma (1998), yang memungkinkan pengadilan oleh International Criminal Court (ICC). Alternatifnya adalah melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, meskipun kemungkinan veto oleh AS dapat menjadi hambatan.
“Tapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti ‘macan ompong’ sebetulnya,” ujar Hikmahanto.
“Dalam konteks perlawanan, kekuatan Palestina berhak mengambil langkah-langkah untuk membebaskan diri dari penjajahan Israel. Namun, yang digaungkan negara-negara besar, khususnya AS, hanyalah hak Israel untuk membela diri, paska serangan Hamas, 7 Oktober yang lalu. Melupakan kenyataan bahwa bangsa Palestina sudah tertindas selama 75 tahun”, ujar Imron Cotan.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza, terutama melihat jumlah korban anak-anak yang mencapai lebih dari 50 persen dari total korban.
“Karena itu, Moya Institute berinisiatif menggelar webinar ini untuk menganalisis perkembangan yang terjadi, membaca kemungkinan potensi penyelesaian, termasuk mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam upaya menciptakan perdamaian antara Palestina-Israel,” kata Hery.