Politisasi Masjid dan Kehidupan Bernegara
Oleh : Rivka Mayangsari )*
Harmoni agama dan kebangsaan menjadi sesuatu yang niscaya. Agama membutuhkan kekuasaan untuk menciptakan keteraturan. Demikian juga Negara membutuhkan agama agar negara mempunyai nilai peradaban dan kemanusiaan.
Agama dan kekuasaan itu bagai saudara kembar. Agama adalah pondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa pondasi dan dasar, maka ia akan roboh, demikian juga sesuatu yang tak ada penjaga akan mudah hilang digondol maling.
Begitu pula dengan hubungan antara ulama dan umara yang harus sinergis pada posisinya masing – masin. Maka, pemerintah berwajib menciptakan keteraturan. Sedangkan Ulama untuk memberi ‘nilai langit’ dalam pemerintahan.
Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat, Cholil Nafis dalam acara sosialisasi peta dan pedoman dakwah di Balikpapan. Cholil mengupas tentang hubungan agama dan negara, bahwa jangkar penyokong NKRI itu kaum religius dan kaum nasionalis.
Dikatakan Cholil, agama dan kekuasaan menjadi saudara kembar. Dia pun mencontohkan pengalamannya punya anak kembar. Kata dia, jika keduanya selalu kumpul maka akan sering bertengkar dan ada yang terhegemoni.
Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia itu pun mengurai tentang wacana politisasi Masjid. Menurutnya masjid itu rumah Allah yang harus sering dikunjungi oleh umat Muslim. “Sesuai fungsinya, masjid selain sebagai rumah Ibadah mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga sebagai sarana interaksi dan membangun solidaritas sosial.” Ujar cholil.
Pada tahun 2017, aksi walk out atau meninggalkan masjid ketika materi khutbah mengandung unsur politis sempat booming. Tatkala pada saat itu masyarakat merasa tidak nyaman ketika khatib yang sepatutnya mengajarkan perihal keagamaan, dinodai oleh persoalan politik. Berkat hal tersebut, jutaan orang mendeklarasikan program anti politisasi masjid. Aksi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya.
Sejak zaman Nabi Muhamaad SAW, peran dan fungsi masjid adalah sarana membina hubungan vertikal dan horizontal. Demikian pada zama khulafaurrasyidin. Bahkan masa kerajaan Islam di Indonesia, bangunan masjid sengaja dibuat bagian dala dan serambi. Bagian dalam berfungsi sebagai sarana Ibadah. Sedangkan serambinya untuk musyawarah warga dengan berbagai topiknya, termasuk masalah politik.
Lalu apa arti politisasi masjid, mungkin yang dimaksud adalah menjadikan masjid untuk sarana kampanye dukung mendukung calon atau bahkan untuk mencaci maki calon lain. Tentu kalau artinya itu, sangat setuju apabila politisasi adalah hal yang dilarang.
Oleh karena itu, pihaknya meminta agar kegiatan masjid jangan dibungkam. Kemudian jangan pula didistorsi oleh kepentingan politik jangka pendek agar bangsa ini sejalan antara ruh agama dan semangat kenegaraan.
Maka, biarkan masjid berperan menyuarakan kebenaran. Sedangkan penguasa adalah penjamin keteraturan dan stabilitas sosial.
Menjelang pesta demokrasi pada bulan April mendatang, kita sebagai warga negara tentu harus cerdas dalam membedakan antara politisasi untuk kepentingan seluruh umat atau politisasi untuk kepentingan golongannya sendiri.
Hal yang juga tak kalah penting adalah upaya untuk membangun literasi politik masyarakat. Karena dengan literasi politik yang mumpuni, maka perlahan akan menggeser pembicaraan mengenai pro dan anti kubu – kubu tertentu menjadi pembicaraan yang membahas mengenai kebijakan publik.
Apabila masyarakat memiliki literasi politik yang baik, maka dengan sendirinya upaya fitnah dan black campaign akan sirna dari mimbar masjid. Pada akhirnya, masyarakat akan terfokus pada isu substansial mengenai apa yang bisa mereka peroleh sebagai warga negara.
Menjadikan Masjid sebagai tempat untuk menyebarkan ujaran politis memang sungguh tidak etis, mengingat di dalam masjid terdapat banyak jamaah yang memiliki ideologi politis yang berbeda.
Salah satu indikasi gerakan politisasi masjid adalah isi ceramah atau khutbah yang mengarahkan jamaah pada kepentingan tertentu, jika hal ini terjadi maka tidak menutup kemungkinan, perpecahan sesama umat akan sulit untuk dihindari.
Politisasi SARA utamaya politisasi agama juga dapat membuat masyarakat teralihkan dari yang seharusnya melihat kualitas serta program kandidat menjadi sekadar menengok identitas – identitas primordial yang melekat pada diri sang kandidat.
Padahal tidak ada jaminan apabila kandidat penganut agama tertentu atau berasal dari etnik tertentu pasti merupakan pemimpin hebat dan kredibel.
MUI juga menilai selain melanggar peraturan dari KPU, hal tersebut juga menodai agama karena terjadi politisasi agama. Semestinya pengajaran tentang ilmu agama tidak dinodai dengan pengarahan kepada umat untuk memilih salah satu nama atau nomor pasangan calon presiden.
Masjid akan kehilangan keteduhannya jika isi khotbah dicampuri dengan penggiringan opini publik dan ujaran kebencian. Jamaah pulang dari masjid membawa hati yang mengeras.
Mengembalikan masjid menjadi tempat ibadah yang murni adalah PR besar umat Islam saat ini. Biarkan politisi bertarung di lapangannya. Jangan biarkan masjid menjadi ranah pertarungan politik. Menolak politisasi masjid adalah langkah konkrit untuk menyelamatkan masjid dari oknum pendulang suara.
Segala bentuk kampanye politik di rumah ibadah seperti masjid merupakan hal yang bertentangan dengan regulasi yang telah diputuskan oleh KPU yang melarang kampanye di tempat ibadah, sarana pendidikan dan fasilitas pemerintahan.
Disisi lain, para peserta kontes demokrasi juga harus lebih mawas diri, untuk tidak menggunakan fasilitas tempat ibadah sebagai media kampanye politik praktis.
)* Penulis adalah pemerhati politik dan kemasyarakatan