Demonstrasi Anarkis Versi Tokoh Reformasi
Oleh : Vindhy Ristanti )*
Tanggal 21 dan 22 Mei beberapa hari yang lalu menorehkan sejarah kelam dalam perjalanan negara Indonesia, khusunya perjalanan sebagai negara demokrasi, yang selama 20 tahun terakhir ini dijadikan model bagi negara lain yang ingin menjadi negara demokrasi modern. Apresiasi dari luar negeri sebagai negara demokrasi ditandai bahwa Indonesia sejak dua dekade terakhir menjadi negara demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi diatas 5%, sehingga menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ke tiga setelah India dan Tiongkok, serta dapat menjaga stabilitas pemerintahan dan keamanan yang tercipta selama 20 tahun terakhir.
Berbagai sanjungan terhadap Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (setelah India dan Amerika) seketika nyaris punah karena kejadian tanggal 21 dan 22 Mei lalu, dengan adanya aksi anarkhis yang semula berdalih unjuk rasa damai. Protes pada Bawaslu yang menurut mereka terdapat kecurangan dalam Pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif, namun ternyata kedok yang didengung-dengungkan oleh Amien Rais cs sebagai People Power, kemudian diganti dengan Aksi Kedaulatan Rakyat, berubah menjadi aksi anarkhi yang menimbulkan 8 korban jiwa serta kerusakan fasiltas umum dan pribadi serta terhentinya kegiatan ekonomi di beberapa tempat di Jakarta.
Seruan adanya People Power ini beberapa kali didengungkan sebelum kejadian tanggal 21-22 Mei, kemudian beberapa tokoh lain dari kubu 02 menyatakan bahwa mereka tidak percaya pada Makamah Konstitusi, sehingga diperlukan adanya people power layaknya peristiwa Mei 1998. Namun, ironisnya masyarakat diminta untuk beraksi sendiri, sehingga ketika terjadi sesuatu masyarakat mau tidak mau harus bertanggung jawab sendiri. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, people power model seperti apa yang akan dilakukan? Ternyata yang terjadi pada 21-22 Mei 2019 adalah kerusuhan, pembakaran, penjarahan, penutupan jalan dan akhirnya jatuh 8 korban jiwa.
Ketika korban berjatuhan akhirnya tidak ada satupun tokoh Penggerak PEOPLE POWER yang bersedia bertanggung jawab, bahkan mengelak dengan menyatakan bahwa “bukan seperti itu yang kami anjurkan”, dan kalimat-kalimat lain yang intinya mengelak untuk bertanggung jawab. Kini aparat keamanan dan penegak hukum sedang meneliti dan melakukan penyelidikan siapa dalang kerusuhan 21-22 Mei tersebut. Lambat tapi pasti akan terungkap aktor intelektual dari aksi anarkhi tersebut. Aksi tersebut tidak mungkin digerakkan oleh hantu, karena pelaku lapangan yang telah ditangkap semuanya manusia. Mungkin juga aktornya yang “berhati setan” atau setidak-tidaknya wajahnya yang seperti hantu sehingga tega menjadikan rakyat sebagai kaki tangan mereka.
)* Penulis adalah pegiat media sosial