Ada Motif Politik Terkait OTT Komisioner KPU
Oleh : Indra Herlambang )*
Upaya penegakkan hukum KPK terhadap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dianggap menyalahi prosedur dan sarat kepentingan Politik. Publik menduga ada motif lain dibalik penangkapan tersebut.
Rabu 8 Januari 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi, telah menangkap salah satu komisioner KPK yakni wahyu setiawan. Penangkapan tersebut terkait dengan adanya dugaan suap yang melibatkan Wahyu. Namun penangkapan tersebut seakan masih menimbulkan tanda tanya.
Karyono Wibowo selaku pengamat politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Dirinya meminta agar lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan klarifikasi terkait dengan beredarnya surat perintah penyelidikan (SPRIN LIDIK) Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas Wahyu Setiawan selaku komisioner KPU dengan dakwaan kasus suap pengurusan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan.
SPRIN.Lidik yang dimaksud oleh Karyono tersebut berkaitan dengan OTT Wahyu Setiawan bernomor 146/01/12/2019 dan ditandatangani oleh Agus Raharjo pada 20 Desember 2019.
SPRIN.Lidik tersebut tertuju kepada nama-nama penyidik KPK. Padahal, pada kesempatan yang sama komisioner dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2019-2023 telah resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo.
Dirinya menilai perlu adanya klarifikasi terkait dengan sprin.lidik OTT terhadap komisioner KPU tersebut. Karena surat perintah tersebut ditandatangani oleh ketua KPK Agus Rahardjo pada 20 Desember 2019, Karyono menduga jika hal tersebut merupakan upaya KPK untuk menghindari izin Dewas KPK.
Apabila Sprin.Lidik KPK yang beredar tersebut benar adanya, Karyono menilai bahwa hal tersebut dapat menimbulkan persepsi negatif bagi KPK. Publik akan menyimpulkan seolah-olah ada target lain di balik upaya penegakan hukum.
Karyono mengatakan, beredarnya surat yang mirip Sprin.Lidik dari institusi KPK terkait kasus suap komisioner KPU tersebut, tentu akan menambah rentetan peristiwa dugaan bocornya Sprin Lidik yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menurutnya justru dapat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi KPK.
Selain itu, Karyono juga memaparkan sejumlah peristiwa terkait dengan penetapan sejumlah tersangka korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan di tengah momentum pertarungan politik dimana KPK menetapkan calon kepala daerah sebagai tersangka tak lama setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPUD setempat serta OTT terhadap seseorang kader partai di tengah momentum agenda besar partai politik tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang dan telah mengundang pertanyaan publik karena seakan akan telah menjadi pola oleh KPK.
Hal ini mengafirmasi sebuah dugaan bahwa selain melakukan manuver politik dengan cara mengkapitalisasi kasus KKN. Sehingga jangan sampai OTT yang dilakukan oleh KPK menjadi hal yang cacat prosedur atau cacat administrasi.
Karena bagaimanapun juga, segala kebijakan tentu membutuhkan aturan untuk menjadikan segalanya menjadi lebih produktif.
Namun demikian ia mengatakan kasus OTT komisioner KPU ini memang harus diproses karena sudah ada minimal 2 alat bukti.
Karyono juga menambahkan, di Indonesia penegakkan hukum memang sebuah keniscayaan dan pemberantasan korupsi haruslah dilakukan. Namun, dirinya menuturkan bahwa sebagai lembaga penegak hukum, KPK tentu tidak boleh melakukan manuver layaknya partai politik.
Pada kesempatan berbeda, pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta, mengatakan perlu ada evaluasi administrasi di KPK terutama apabila surat perintah penyelidikan KPK yang terkait OTT komisioner KPU tersebut benar adanya. Sebab, menurutnya, administrasi semacam itu bisa dianggap mencari celah untuk tujuan tertentu.
Stanislaus mengatakan, pemberantasan korupsi tentu haruslah dilakukan dan siapapun yang terlibat korupsi haruslah ditindak secara tegas. Namun dalam upayanya tentu lembaga anti rasuah tersebut harus memperhatikan aturan yang berlaku termasuk harus taat prosedur dan administrasinya.
Sebelumnya kita juga harus mengetahui bahwa, dewan pengawas (dewas) memiliki wewenang untuk memberikan izin penggeledahan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu perkara. Dewan pengawas juga berwenang menyusun kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
Dewan pengawas sendiri sejatinya sudah diatur dalam pasal 37B untuk undang-undang Nomor 19 tahun 2019 (UU KPK). Dimana terdapat sejumlah tugas dan kewenangan yang diatur dalam UU KPK hasil revisi.
Pembentukan dewan pengawas KPK sebagaimana yang diusulkan DPR itu juga demi memperkuat KPK agar terhindar dari anggapan miring yang terjadi selama ini bahwa KPK hanya menyelesaikan kasus ‘pesanan’.
Tentu saja dengan adanya OTT terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan, membuat publik tidak menyadari bahwa drama politik bisa terjadi kapan saja.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik