Ancaman Isu SARA di Tahun Politik
Oleh : Adi Ginanjar )*
Indonesia adalah Negara kepulauan dan memiliki berbagai suku, agama, ras, budaya, bahasa daerah, dan golongan serta beberapa agama yang diperbolehkan berkembang di Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, Indonesia memang negara yang besar karena mampu merdeka dan bersatu dengan mengesampingkan perbedaan-perbedaan tersebut.
Isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) menjadi salah satu sorotan dari dinamika politik beberapa tahun terakhir. SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Isu semacam ini dapat menimbulkan kebencian terhadap suatu kelompok sehingga secara perlahan akan merusak persatuan dan kesatuan Indonesia.
Politik seharusnya menjadi sarana moderator (penengah) suatu konflik, namun kenyataannya isu politik SARA ini malah mempertajam konflik, dengan menyeret-serta massa dalam konflik perebutan kekuasaan. Belum lagi peran media massa yang juga terus memberitakan hal-hal semacam ini agar mendapat keuntungan semata tanpa melihat dampak penyebaran berita semacam ini. Hal ini juga diperparah dengan kondisi masyarakat Indonesia yang kurang bisa membedakan antara opini berisi ujaran kebencian dan SARA dengan fakta yang beredar di ruang publik.
Isu SARA dan Bhinneka Tunggal Ika
Penggunaan Isu SARA akhir-akhir ini menjelang tahun-tahun politik tak lain merupakan sebuah upaya dari sekelompok oknum yang memiliki kepentingan dalam tahun-tahun politik. Mereka akan mencoba membuat lawan mereka buruk bagi suatu kelompok masyarakat sehingga mereka mendapat keuntungan tanpa memikirkan keadaan situasi dan kondisi di masyarakat nantinya. Isu SARA pada nyatanya, lebih berbahaya daripada politik uang karena berdampak panjang.
Disinilah masyarakat Indonesia harus mulai paham bahwa sebenarnya isu-isu SARA akhir-akhir ini sebenarnya dimanfaatkan oleh sekelompok oknum-oknum politik untuk mencapai tujuannya. Padahal kenyataannya, kita bangsa Indonesia dulu merdeka hingga hari ini adalah karena mengesampingkan SARA dan bersatu atau dikenal dengan slogan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Seakan kontras akan semboyan yang selama ini selalu kita bicarakan, kejadian yang ada di lapangan justru jauh dari makna Bhinneka Tunggal Ika. Banyaknya konflik yang terjadi karena keberagaman suku, agama, atau apapun itu adalah indikasi bahwa tidak semua orang paham akan makna semboyan negara kita tersebut. Jika mereka mengaku paham akan makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika, mereka justru akan memahami perbedaan tersebut sebagai keberagaman yang akan memperkaya negeri mereka. Tetapi yang terjadi adalah keberagaman tersebut dijadikan alasan untuk menonjolkan perbedaan prinsip dan pendapat antar kelompok dan golongan.
Jika ditelaah sedikit saja, sangatlah jelas bahwa isu-isu SARA ini adalah isu buatan sekelompok oknum politik yang memiliki suatu kepentingan dan tujuan menjelang tahun-tahun politik mendatang dan secara tidak langsung mulai merusak kebersamaan dan persatuan di Indonesia. Mereka membuat isu-isu ini seolah sebagai hal yang lumrah dan dibuat seolah adalah suatu bentuk membela kepercayaannya. Sehingga apabila hal semacam ini dibiarkan maka dimasa mendatang dapat menjadi sebuah proses dinamika politik yang tidak sehat.
Isu-isu SARA mirip dengan Devide et impera nya Belanda
Banyaknya masyarakat indonesia yang terprovokasi oleh isu-isu SARA menunjukkan bahwa kemampuan dan kesadaran bangsa dalam menyikapi perbedaan SARA yang berkembang di wilayah nusantara sebagai kekayaan dan potensi bangsa masih sangat kurang. Banyak masyarakat Indonesia yang gagal membandingkan opini dan fakta. Antara pemberitaan dan penyebarluasan kabar bohong lewat konstruksi seolah itu adalah berita.
Pada kenyataannya, selama 350 tahun Belanda berhasil menjajah Indonesia. Menurut sejarah, keberhasilan Belanda dalam menaklukan Nusantara tidak terlepas dari strategi devide et impera atau yang lebih dikenal dengan politik pecah belah. Secara definitif devide et impera atau politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam arti lain, devide et impera juga merupakan upaya pencegahan kelompok–kelompok kecil untuk bersatu membentuk kelompok besar yang lebih kuat.
Tidak akan ada suatu kebijakan politik yang berhasil tanpa ada unsur pendukungnya, bagaimana pun baiknya suatu kebijakan politik kalau tanpa partisipasi politik maka akan gagal total dan sebaliknya sejelek-jeleknya kebijakan politik tetapi kalau ada unsur pendukung yang menusukseskannya tentunya kebijakan tersebut akan berjalan dengan sendirinya. Belanda tidak akan berhasil menjalankan strategi devide et impera jika tidak ada pihak orang-orang bodoh yang mudah dipropaganda dan pihak haus harta dan kekuasaan untuk diajak bekerja sama dalam menjajah penduduk Nusantara. Penjajahan oleh Kolonial Belanda yang membuat rakyat Indonesia menjadi bodoh, miskin, dan terbelakang.
Dengan kebodohan dan kemiskinan rakyat membuat Pemerintah Belanda semakin mudah dalam mempengaruhi dan mempropaganda rakyat untuk melancarkan strategi devide et impera, memecah belah persatuan bangsa sehingga mereka menjadi tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil dan lemah kedudukannya, sehingga sangat mudah bagi Pemerintah Belanda untuk menaklukan Nusantara dan mencapai tujuannya.
Jika kita pahami sedikit, devide et impera milik Belanda ini memiliki dampak yang mirip dengan maraknya penggunaan isu-isu sara belakangan ini. Banyaknya masyarakat Indonesia yang termakan isu ini seolah menjadikan Indonesia terkotak kotak oleh SARA. Sehingga kita dapat pahami bahwa strategi keji divide et impera masih dipraktikan oleh sekelompok oknum politik yang berkepentingan, mereka menggunakan isu SARA untuk memecah belah kesatuan bangsa Indonesia dan mengambil manfaat dari situasi tersebut. Oleh karena itu sebagai warga negara Indonesia, sudah saatnya untuk mulai membudayakan membaca banyak buku soal kenegaraan dan bersifat dingin terhadap isu-isu SARA. Jangan mau dengan mudah dijadikan alat politik, di provokasi, bahkan digerakkan dan dikotak-kotakkan oleh isu-isu SARA untuk tujuan politik. Karena pada nyatanya para pendahulu kita sudah menunjukkan bagaimana cara berbhinneka tunggal ika yang baik.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)