Aturan Pesangon dalam UU Cipta Kerja Menguntungkan Pekerja
Oleh: Made Prawira )*
Peresmian UU Cipta Kerja membawa angin sejuk bagi para pekerja. Penyebabnya, walau mereka akhirnya harus dirumahkan, namun tetap pesangon. Para mantan pekerja juga mendapat jaminan kehilangan pekerjaan. Sehingga mereka bisa bertahan dan tak frustasi karena menjadi pengangguran.
Ketika UU Cipta Kerja diresmikan, maka protes paling keras muncul dari kaum pekerja, baik kerah putih maupun kerah biru. Mereka yang berdemo sebenarnya tak paham apa sebenarnya inti dar UU Cipta Kerja. Karena UU ini justru memakmurkan pekerja dengan standar gaji UMP. Bahkan ketika mereka dirumahkan, masih mendapat jaminan kehilangan pekerjaan, di samping pesangon.
Dalam UU Cipta Kerja, pesangon diberikan sesuai dengan durasi kerja. Jika pegawai yang dirumahkan, bekerja dalam kurun waktu 1 tahun hingga 23 bulan, maka pesangonnya sebesar 2 bulan gaji, dan seterusnya. Penghitungan pesangon ini dirasa sudah cukup adil, karena besarannya sesuai dengan masa kerja seorang pegawai.
Ada jaminan 100% pesangon akan diberikan, dalam UU Cipta Kerja. M Harun, akademisi dari UIN Walisongo Semarang menyatakan bahwa jika ada pengusaha nakal yang tak memberi pesangon akan diancam sanksi pidana. Hukumannya adalah penjara 1-4 tahun atau denda sebesar maksimal 400 juta rupiah. Hal ini merujuk pada pasal 156 ayat 2 dalam UU Cipta Kerja.
Dengan ancaman hukuman ini, maka pengusaha yang akan memecat pekerjanya mau tak mau harus memberi uang pesangon. Karena bukan rahasia lagi, ada oknum nakal yang tak mau memberi pesangon sama sekali. Atau memberi sekadar uang saku yang nominalnya tidak sesuai dengan aturan dari pemerintah.
Ketika pengusaha harus memberi uang pesangon, maka mereka harus berpikir 2 kali jika akan memecat karyawannya seenaknya sendiri. Kadang ada pula oknum lain yang merumahkan pegawai, hanya karena alasan yang subjektif atau terbawa emosi. Padahal kinerjanya selama ini bagus. Boss juga tak bisa memecat pegawai jika ia meminta izin sakit atau mengalami kecelakaan kerja.
Selain pesangon, maka mantan pegawai juga berhak menerima jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Jaminan ini adalah terobosan baru dari Presiden Jokowi, karena ia tak hanya memberi dana hingga 6 bulan gaji. Namun juga jaminan mendapat pekerjaan baru, yang akan disalurkan melalui bursa kerja. Sehingga mereka akan lekas mendapat pekerjaan baru.
Jaminan kehilangan pekerjaan juga memberi pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dari para pengangguran. Sehingga ketika mereka belum mendapatkan pekerjaan baru, akan punya modal berupa skill. Mereka akan bertransformasi menjadi pengusaha, karena punya modal awal dari pesangon serta keterampilan yang didapat dari pelatihan JKP. Pelatihan itu bisa di bidang IT, tata boga, dan lain-lain.
Fadjar Wisnuwardhani, Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Kantor Staf Presiden, menyatakan bahwa jaminan kehilangan pekerjaan akan diatur melalui BPJS Ketenagakerjaan. Sumber dana JKP adalah dari pemerintah, iuran jaminan sosial, dan dana BPJS Ketenagakerjaan. Dalam artian, seluruh pekerja memang wajib punya BPJS Ketenagakerjaan, karena manfaatnya dirasakan hingga mereka di-PHK.
Dalam UU Cipta Kerja sudah jelas disebutkan bahwa tiap hak pekerja, bahkan sampai ia dirumahkan, akan dibayarkan oleh pengusaha. Ia tetap akan mendapatkan pesangon sesuai dengan durasi kerja, dan hal ini memukul hoax bahwa dalam UU ini hak pesangon akan dihapus pemerintah. JKP juga jadi penolong karena memberi pelatihan dan informasi lowongan kerja.
Dengan begitu, sudah terbukti bahwa UU Cipta Kerja tak hanya menguntungkan bagi para pengusaha, tapi juga para pekerja. Karena hak pesangon masih tetap diberi, plus JKP. Pemerintah berusaha adil agar tiap warga negara mendapat manfaat dari UU ini, termasuk para pekerja yang baru saja dirumahkan oleh perusahaan.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini