Belajar Dari Suriah : Mewaspadai Bibit Radikalisme di Indonesia
Oleh : Ratna Wulandari )*
Satu pekan telah berlalu, namun polemik mengenai pembakaran bendera hitam yang bertuliskan kalimat HTI pada peringatan Hari Santri Nasional di Garut yang lalu masih saja memanas.
Pembakaran bendera HTI yang dilakukan oleh Banser pada peringatan Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober yang lalu menuai beragam tanggapan, dari yang pro hingga yang kontra. Kejadian yang memperlihatkan sejumlah oknum Banser membakar bendera HTI tersebut kemudian digiring dalam penyesatan opini bahwa terjadi pelecehan terhadap agama, sehingga menimbulkan reaksi beragam di masyarakat.
Demi sebuah kepentingan politik dan kekuasaan, beberapa kelompok telah menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya termasuk dengan berkedok agama. Apa yang terjadi di Indonesia ini tidak berbeda dengan peristiwa yang pernah terjadi di Suriah.
Kejadian yang hampir sama dengan pola-pola yang tidak jauh berbeda tersebut dapat menyeret Indonesia dalam konflik berkepanjangan di masyarakat. Situasi ini tentu saja membawa banyak kerugian dari segi korban jiwa maupun kerugian material lainnya.
Banyak Fakta telah menunjukkan bahwa Indonesia saat ini telah digiring untuk menuju perang saudara tersebut. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia dan M.Najih Arromadoni Alumnus Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus menyatakan bahwa “Keberhasilan kelompok radikal dalam membabak belurkan Timur tengah menginspirasi kelompok radikal di berbagai belahan dunia”.
Beberapa tahun belakangan, banyak ditemukan pola Suriah yang diadaptasi menjadi sebuah gerakan-gerakan radikal di Indonesia. Salah satu hal yang kentara adalah dengan mempolitisasi agama, termasuk menjadikan masjid sebagai markas demonstrasi.
Jika di Indonesia menjadikan Masjid Istiqlal sebagai markas demonstran, maka di Damaskus dahulu masjid Jami’ Umawi-lah yang dijadikan tempat berkumpul para demonstran. Biasanya demonstrasi dilakukan pada hari jumat, usai sholat jumat. Dengan diawali dengan berbagai hujatan politik pada sebuah khotbah untuk mengelabui masyarakat. Hal ini sama persis dengan apa yang pernah terjadi di Suriah pada saat menjelang krisis.
Selain itu, fakta kedua adalah menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Hal ini dilakukan oleh kelompok radikal dengan cara terus-menerus menebar fitnah yang kejam. Al Asaad yang kala itu menjabat sebagai presiden Suriah pernah difitnah sebagai kafir, pembantai Kaum Sunni dan sebagai golongan Syiah. Bahkan ada pula berhembus kabar bahwa Al Asaad pernah mengaku sebagai Tuhan.
Dalam hal ini, tak ubahnya dengan yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu. Tentu Anda masih mengingat bahwa Presiden Republik Indonesia yang sedang menjabat saat ini juga pernah difitnah sebagai kaum komunis, China, anti Islam dan sederet fitnah lainnya oleh kelompok makar. Isu tersebut sengaja dihembuskan untuk melemahkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Selanjutnya adalah pembunuhan karakter ulama. Dalam berbagai krisis yang terjadi di Suriah, Ulama menjadi sasaran empuk yang tidak bisa terlepas dari panah fitnah. Bahkan ulama besar timur tengah Syeikh Said Ramadhan al-Buthi pun tak luput dari fitnah sebagai penjilat istana dan Syiah karena dianggap berseberangan dengan pandangan politik mereka. Padahal jelas-jelas beliau merupakan tokoh Aswaja yang berpengaruh.
Itulah beberapa fakta yang kini tengah terjadi di Indonesia setelah sebelumnya juga memakai pola yang sama yang pernah terjadi di Suriah dengan penggunaan hashtag yang kontroversial. Pemakaian hashtag ganti presiden juga pernah terjadi di Suriah. Pendapat ini dikemukakan oleh Sekjen PKB Abdul Kadir Karding dalam cuitannya di Twitter beberapa waktu lalu.
Beliau menuliskan hashtag itu pernah dipakai di Suriah. “Kenapa Suriah Kacau, itu karena pakai hastag ganti presiden. Dan ganti presiden itu maknanya macam-macam, jadi Saya kira memang bagus sudah kalau pasangan calon presiden tersebut mengganti hashtag itu ” tandasnya.
Menurut Zuhairi Misrawi yang merupakan seorang pengamat Timur Tengah menyatakan hendaknya kita belajar dari krisis politik yang terjadi di Suriah yang awalnya berdamai, akan tetapi berujung konflik karena ada pihak-pihak yang berusaha melegitimasi pemerintahan yang sah.
Dari berbagai peristiwa tersebut, hendaknya kita bersama-sama menghadang upaya yang dilakukan oleh kelompok radikalisme yang sedang berusaha untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tercinta ini.
Jika saat ini Suriah sedang berada pada kondisi penyesalan dan ingin berekonsiliasi, maka konflik di negara tercinta dengan mengatasnamakan agama ini baru saja dimulai. Untuk itu jangan sampai upaya penghancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dengan mengatasnamakan agama ini semakin terus menjadi, termasuk memobilisasi massa dengan jumlah besar.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, pernah mengungkapkan bahwa pada situasi seperti inilah terletak ujian mengamalkan ajaran tentang ukhuwah, rahmatan lil ‘alamin, tasamuh dan tawasut sesama umat Islam maupun bangsa Indonesia.
Melihat kondisi yang saat ini sedang terjadi Haedar juga sempat mengungkapkan bahwa kesadaran kolektif khususnya untuk umat Islam sangat diperlukan. Beliau juga percaya bahwa umat Islam maupun seluruh masyarakat Indonesia tetap mampu menjaga keutuhan nasional. Hal ini karena memang berbagai pengalaman pahit sebelum ini lebih dari cukup untuk menjadi bahan pelajaran ruhaniah yang membuat umat dan bangsa ini makin matang dan dewasa.
)* Penulis adalah Mahasiswi pendidikan agama, tinggal di Sumedang