Bijak Menyikapi Krisis Rohingya
Bantuan kemanusian kepada Rohingya telah banyak dikucurkan. Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo bahkan telah memberangkatkan 34 ton bantuan kemanusian ke perbatasan Bangladesh-Myanmar. Namun demonstrasi menuntut ketegasan pemerintah terhadap krisis Rohingya terus disuarakan. Apakah tidak berlebihan?
25 Agustus 2017 militer Myanmar melakukan operasi militer di wilayah Rakhine State, Myanmar. Rakhine State merupakan wilayah yang dihuni etnis minoritas Rohingya. Serangan militer setidaknya telah menewaskan lebih dari 600 orang dan mengusir ribuan penduduk dari tempat tinggalnya.
Kekerasan terhadap etnis Rohingya merupakan krisis kemanusiaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dilihat dari banyaknya korban jiwa, krisis ini juga dapat disebut sebagai genosida atau pembunuhan massal. Krisis kemanusiaan ini telah melahirkan banyak empati Internasional, termasuk dari Indonesia.
Bantuan kemanusiaan telah banyak dikucurkan Indonesia baik melalui pemerintah maupun melalui badan-badan amal lain. Beberapa waktu lalu Presiden Repubik Indonesia, Joko Widodo telah memberangkatkan 34 ton bantuan kemanusiaan ke perbatasan Bangladesh-Myanmar, tempat pengungsian etnis Rohingya. Sebelumnya, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi telah berdiplomasi dengan pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan kekerasan di Rakhine State. Bahkan beberapa media sosial juga memberitakan kepedulian Indonesia terhadap krisis kemaniusiaan tersebut.
Sangat disayangkan apabila masih ada kelompok-kelompok yang masih merasa tidak puas dengan tindakan pemerintah terhadap krisis Rohingya. Empati, panggilan hati terhadap krisis kemanusiaan memang tidak ada salahnya. Namun dengan terus menerus menuntut tindakan yang lebih dari pemerintah adalah hal yang kurang bijaksana. Bukti nyata kepedulian pemerintah telah ada. Lalu apa lagi yang masih perlu disuarakan?
Beberapa kelompok masyarakat sepertinya menginginkan adanya campur tangan militer Indonesia terhadap kasus kemanusiaan. Bahkan ada pula yang berinisiatif mengirimkan pasukan-pasukan jihad ke Myanmar. Bukan seperti itu caranya. Kita juga perlu melihat bahwa diplomasi Internasional juga ada etikanya. Tindakan ofensif seperti itu bukanlah solusi yang tepat, melainkan akan semakin memperkeruh suasana saja.
Jika dilihat, kelompok-kelompok yang masih ingin bersuara adalah organisasi yang mengatasnamakan agama. kelompok tersebut cenderung membawa permasalahan Rohingya kedalam sentimen agama. Memang kita tahu sendiri isu agama adalah isu yang sedap untuk diperdebatkan dan diserukan. Namun menggiring krisis kemanusiaan ke arah sentimen agama ujungnya akan melahirkan permasalah baru di negeri sendiri.
Kita juga perlu menilai demonstrasi yang berlebihan tersebut apakah memang atas dasar kemanusiaan atau tidak. Celakanya lagi apabila ada kelompok yang sengaja mempolitisasi isu ini untuk kepentingan pribadi. Memanfaatkan momentum yang tepat untuk menyerang lawan politik.
Masyarakat tentunya juga sudah tahu mana yang harus diikuti dan mana yang harus dieliminasi. Masyarakat Indonesia harus bijaksana menyikapi isu-isu yang sedang hangat di teliga. Fakta yang ada, pemerintah telah melangkah maksimal untuk krisis kemanusiaan ini. Lebih baik menghentikan aksi unjuk rasa berlebihan isu-isu Rohingya. Tengoklah ke negeri sendiri, banyak saudara di rumah yang masih perlu diperhatikan. Mari ubah mindset kita, dan fokus pada pemerataan pembangunan negara.
Aris