Bijak Menyikapi Polemik Puisi Sukmawati
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Beberapa waktu ini banyak orang yang membicarakan tentang puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati. Puisi yang dibacakan langsung oleh Sukmawati pada acara 29 Tahun Anne Avantie berkarya Fashion Week 2018, ini lebih banyak menuai kontra, khususnya di kalangan umat Islam karena isinya dinilai menyudutkan penggunaan cadar dan suara adzan.
Atas kasus tersebut, video pembacaan puisi oleh Sukmawati itu pun viral dan dapat dengan mudah ditemukan di internet, terutama sosial media dan youtube. Beredar pula beberapa video balasan terkait puisi itu. Kemarahan warganet diluapkan dengan berbagai macam ekspresi, dimulai dari yang paling santun dengan mencoba mengingatkan Sukmawati akan indahnya syariat Islam, membuat puisi balasan, ada yang keras menentang puisi tersebut dengan balik menyudutkan Sukmawati, dan ada pula yang lebih memilih mengambil jalur hukum.
Bagi sebagian besar kalangan Islam, puisi “Ibu Indonesia” karya Sukmawati telah menodai agama Islam. Padahal mirisnya, Sukmawati tersebut merupakan pemeluk Islam. Banyak pihak yang menyayangkan kenapa Sukmawati memilih paduan kata dalam puisi tersebut dengan membandingkan antara agama dengan budaya.
Atas viralnya kasus ini, tak sedikit dari tokoh politik maupun masyarakat yang ikut berkomentar. Seperti yang diketahui, bahwa pembicaraan menyangkut SARA masih menjadi hal yang sensitif di Indonesia. Seperti pada kasus Ahok yang dinilai menistakan agama Islam, pada kasus Sukmawati banyak yang ingin agar kasusnya disikapi dengan tegas lewat jalur hukum.
Beberapa laporan pengaduan dari berbagai pihak terkait kasus tersebut pun sudah diterima kepolisian. Sedikitnya pihak Polda Metro Jaya telah menerima dua laporan terkait kasus ini. Hal tersebut dibenarkan Raden Prabowo Argo Yuwono selaku Kabid Humas Polda Metro Jaya, yang juga menjelaskan bahwa dalam kasus ini akan menggunakan pendekatan RestorativeJustice. Dalam pendekatan tersebut menekankan musyawarah antara pelapor dan pihak yang dilaporkan. Apabila tidak ditemukan jalan terang, barulah akan diadakan penyidikan.
Menyikapi kasus ini, polisi pun telah membentuk tim khusus yang bertugas untuk menyelidiki. Nantinya polisi pun akan mencari barang bukti, memanggil saksi, serta mengumpulkan keterangan lainnya yang dibutuhkan.
Meski sebenarnya beberapa waktu setelah pembacaan puisi yang menghebohkan tersebut, Sukmawati telah meminta maaf pada konferensi pers yang diadakan di Cikini pada Rabu 4 April 2018. Sukmawati juga menjelaskan bahwa puisi “Ibu Indonesia” merupakan bagian dari buku Kumpulan Puisi Ibu Indonesia yang terbit di tahun 2006. Atas kasus ini, Sukma menggelar jumpa pers dan meminta maaf kepada seluruh umat Islam yang merasa sakit hati dan tersinggung atas isi puisi Ibu Indonesia.
Setelah permohonan maaf Sukmawati tersebut di hadapan publik, MUI menilai bahwa kasus ini tidak perlu lagi diperpanjang. Seperti yang banyak diberitakan, bahwa pada kamis tanggal 5 April 2018, Sukma mendatangi kantor MUI dan diterima oleh K.H. Ma’ruf Amin. Dalam kesempatan tersebut pun Sukma juga menyampaikan permintaan maafnya. Sebagai Ketua Umum MUI, K.H. Ma’ruf Amin pun menerima permintaan maaf Sukma dan mengharapkan agar kasus ini tidak sampai ke jalur hukum.
Namun, meskipun begitu sebenarnya MUI belum memberikan keputusan terkait kasus puisi Ibu Indonesia. Sebab, seperti yang dijelaskan K.H. Cholil Nafis selaku Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, dalam memutuskan sesuatu, MUI perlu melakukan kajian mendalam atas sebuah kasus.
Seperti yang telah dihimbau oleh K.H. Ma’ruf Amin, agar kasus ini segera selesai dan tak perlu menempuh jalur hukum. Itu menjadi harapan MUI, namun MUI pun tidak menentang kepada pihak yang masih ingin melaporkan Sukmawati karena itu merupakan hak mereka.
Berbicara mengenai kasus Puisi Ibu Indonesia ini, pihak yang ekstrim menentang juga berencana akan melakukan demo supaya Sukmawati juga diadili sama seperti kasus Ahok. Tuntutan itu pun yang masih digaungkan oleh PA (persaudaraan alumni) 212 yang menginginkan Sukmawati menerima hukumannya karena dianggap telah menistakan agama.
Atas kasus ini, ada pro-dan kontra dari sebagian besar rakyat Indonesia antara memaafkan dan menutup kasusnya atau tetap teguh untuk menempuh jalur hukum. Meski beritanya tidak semeledak kasus Ahok, dimana banyak yang menginginkan adanya pemberian hukuman tersebut, Namun kasus yang menimpa putri dari mendiang presiden Soekarno ini juga tidak bisa dianggap sepele.
Ada banyak jajak pendapat yang mewarnai kasus puisi “Ibu Indonesia”. Termasuk pendapat dari anggota keluarga Soekarno sendiri. Menurut Guntur Soekarnoputra, apa yang dituangkan oleh Sukma dalam puisi ibu Indonesia tidak mencerminkan pandangan soal Islam dari anggota keluarga Soekarno secara keseluruhan. Itu murni pendapat pribadi Sukmawati. Sementara, Guruh Soekarnoputra yang merupakan adik dari Sukmawati mengatakan bahwa puisi kakaknya tidak bermaksud menyinggung agama Islam.
Hingga saat ini, kasus ini masih bergulir dan belum memperoleh titik temu. Melihat semakin banyak laporan dari masyarakat yang masuk terkait Puisi karya Sukmawati ini, maka pihak polisi pun mulai melakukan penyelidikan. Saat ini polisi sedang mengumpulkan keterangan dan pendapat dari para ulama tentang puisi tersebut apakah sudah dapat dimasukka ke ranah penistaan agama.
Sejauh ini, kasus puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati masih daam proses penyidikan. Meskipun Sukmawati telah meminta maaf, tapi masih ada banyak pihak yang ingin memperkarakan secara hukum. Memang benar jika dilihat dari kacamata Islam, umat islam tentu tidak terima ketika cadar di bandingkan dengan sari konde dan suara adzan dibandingkan dengan kidung.
Tapi sebenarnya, menilai sebuah puisi tidak bisa disamakan dengan menilai sebuah kata biasa. Bahasa puisi mengandung majas-majas yang tentunya penulisnya lebih mengetahuinya dibandingkan pembaca tentang maksud di baliknya. Biarkan Polri, ahli sastra, dan juga ulama memutuskan apakah puisi “Ibu Indonesia” tersebut masuk dalam penistaan agama atau pun tidak.
Kita sebagai rakyat tentunya menginginkan agar hidup di Indonesia ini tetap damai dan kondusif. Jangan sampai perkara ini justru menjadikan kita terpecah belah antara yang pro dan kontra. Jangan sampai pula kita ikut terbawa emosi sedangkan pihak lain menunggangi kemarahan massa tersebut untuk kepentingan tertentu. Yuk, pahami kasus ini dengan lebih baik. Bersikap lebih arif.
Biarkan Polisi bekerja dalam mengusut kasus ini hingga tuntas. Hormati keputusan penyelidikan dan hukum Indonesia. Tentunya pihak yang tetap menginginkan persatuan NKRI akan menghadapi kasus ini secara bijak dan tidak menempatkan emosinya secara brutal. Sejauh ini polisi tetap menerima pengaduan terkait kasus ini. Jika memang tidak setuju dengan puisi Sukmawati, mengkritiklah secara santun.
Kita doakan saja semoga kasus ini cepat selesai dan bumi Indonesia tetap kembali damai lagi. Dari kasus ini kita bisa belajar untuk lebih berhati-hati dalam berkata dan menyampaikan sebuah pemikiran akan suatu hal. Terlebih ketika melibatkan masalah agama. Bagaimana pun, memang tak dapat dipungkiri bahwa masalah SARA bisa sangat sensitif dan memicu konflik. Hal itu bukan tanpa sebab, karena Indonesia memiliki beraneka ragam budaya, suku, golongan, maupun agama yang selama ini hidup berdampingan namun bisa saja bergesekan ketika adanya pemicu. Karenanya, sebagai warga dari negara yang besar ini sepatutnya kita menyikapi permasalahan ini dengan lebih bijak agar tak menimbulkan konflik yang lebih dalam.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis (LSISI)