Budaya Hoaks Pada Musim Pilpres; Lawan.!
Oleh: Adli Maskur )*
Realitas buruk media sosial turut mewarnai perjalanan panjang demokrasi di Indonesia, termasuk dalam proses penyelenggaraan pemilihan presiden (PILPRES) 2019, beberapa waktu lalu. Media sosial menjadi lahan empuk untuk kegiatan kampanye dari masing-masing pasangan calon (PASLON). Efektivitas kampanye pada media sosial sudah tidak perlu diragukan lagi, semakin banyak pengguna media sosial, maka semakin luas pula khalayak yang terkena sasaran kampanye. Bahkan, jauh sebelum musim Pilpres ini datang, media sosial sudah riuh terlebih dahulu. Apakah alasan keriuhan itu? Salah satunya adalah pemberitaan terkait Paslon. Pemberitaan yang disebarluaskan tentu terbagi dalam dua jenis, kebaikan dan ketidakbaikan. Tentunya, tidak sedikit pemberitaan yang menjerumuskan dan tidak terverifikasi kebenarannya. Informasi demikianlah yang kita kenal dengan sebutan hoaks.
Tensi perbincangan politik kian memanas ketika Pilpres berlangsung. Bahkan, setiap pesan singkat hampir selalu disertai dengan jargon-jargon Paslon dari masing-masing nomor urut. Tidak sedikit pesan singkat yang dirasa begitu menjatuhkan salah satu Paslon. Saat Pilpres berlangsung, di hari yang sama, berbagai lembaga survey yang kredibel melakukan hitung cepat. Hitung cepat yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun ke belakang dan terbukti kredibelitasnya, justu tahun ini malah diragukan kredibelitasnya oleh sebagian kelompok. Begitu hasil hitung cepat keluar, pendukung salah satu Paslon gencar membicarakan di media sosial bahwa kini lembaga survey sudah tidak lagi teruji, bahkan dinilai melakukan patgulipat dengan salah satu Paslon. Beredarnya kabar demikian, semakin menaikkan tensi politik yang kian memanas dan membuat masyarakat saling mencaci maki, padahal apa yang disebarkan melalui media sosial belum tentu benar faktanya. Lalu apakah fenomena tersebut dalam dikatakan sebagai hoaks? Bisa kita sepakati dengan seksama bahwa hal demikian, termasuk ke dalam jenis hoaks.
Bukan hanya dalam bentuk teks, ketika musim Pilpres berlangsung, hoaks tersebar dalam bentuk visual, hingga audio visual. Banyak beberapa video yang dipotong dan diunggah dengan komentar yang menjatuhkan salah satu Paslon sehinga menyebabkan keadaan semakin tidak kondusif. Lalu, apakah yang dilakukan pemerintah untuk menghalau hoaks yang semakin sarkas ini? dengan penuh pertimbangan dan kebijaksanaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) terpaksa harus memblokir beberapa akses media sosial seperti, What’s App, Instagram, dan Facebook.
Begitu pemblokiran terjadi selama kurang lebih dua hari, banyak masyarakat yang mengeluh bahkan mencaci maki pemerintah karena merasa sulitnya bertukar pesan. Mengapa kita harus saling menaikkan tensi ketika pemerintah mencoba mencari solusi? Menurut Dr. Gun Gun Heryanto, dalam bukunya yang berjudul Melawan Hoax di Media Sosial dan Media Massa, bahwasanya salah satu upaya meminimalisir hoaks adalah dengan terjalinnya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Pada musim Pilpres kemarin, pemblokiran beberapa media sosial dirasa sebagai wujud kerjasama pemerintah dan masyarakat untuk sama-sama berupaya meminimalisir hoaks.
Sama seperti asas demokrasi, hoaks pun berasal dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Maka, kitalah yang mempuyai andil besar dalam proses meminimalisir hoaks.
)* Penulis merupakan pegiat Rumah Pers Mahasiswa