Sendi BangsaWarta Strategis

Demokrasi : Hate Speech, Komunikasi Massa dan Bullet Theory

Oleh : Ahmad M

Demokrasi sebagai salah satu sistem berpolitik, telah digunakan oleh beberapa negara khususnya negara ke tiga seperti Indonesia, demokrasi dinilai ideal dalam menjalankan roda pemerintahan, semenjak perang ideologi/perang dingin antara ideolog sosialis dan liberalis, dimenangkan oleh Amerika dengan ideologi liberalisnya. Aplikasi liberalis dalam tatanan politik berbentuk demokrasi, dengan semboyan suara rakyat adalah suara tuhan atau dari rakyat untuk rakyat, dimana pemimpin dipiih secara langsung oleh rakyat.

Sejalan dengan sistem demokrasi tersebut, muncul sub sistem lain yaitu Hak Asasi Manusia (HAM), yang berlandaskan pada hukum humaniter ketika perang dunia. HAM berkembang menjadi dua yaitu Hak Sipil Politik (Sipol) dan Hak Ekonomi, Sosial, Politik (Ekosob). HAM yang bermuatan menghargai nilai/sifat dasar manusia menjadi penting dalam setiap kehidupan, contohnya hak untuk berpendapat dan berpolitik, tanpa ada diskriminasi. Konsep HAM tersebut bukan berarti tanpa batasan, mengingat HAM harus beradaptasi dalam norma atau nilai-nilai agama maupun sosial. Sehingga muncul peraturan pembatasan dalam HAM tersebut agar tidak mengganggu HAM dalam artian Hak Asasi Masyarakat.

Dalam Hak Sipol terdapat hak kebebasan berpendapat atau berbicara, lebih lanjut Alexander Tsesis, dalam jurnalnya yang berjudul “Dignity And Speech: The Regulation Of Hate Speech In A Democracy,”[1] mengungkapkan bahwa individu/peronal dalam mengutarakan pendapatnya mendapat perlindungan, karena perlindungan dalam kebebasan berbicara merupakan esensi dari demokrasi. Pembatasan pada Hak ini adalah individu dalam bicaranya tidak mengganggu atau merugikan pihak lain, atau yang saat ini dikenal dengan istilah Hate Speech atau ujaran kebencian. Hate speech berkembangan mengikuti perkembangan jaman teknologi, pergeseran tersebut semakin nyata ketika massa atau penerima pesan bersifat massif dalam sekala besar, berkat bantuan teknologi khususnya media sosial seperti telegram.

Ucapan kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan.

Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah lisan (slander), fitnah tertulis (libel). [2] Rakhmat menjelaskan bahwa komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang, Elizabeth Noelle-Neuman dalam buku Rakhmat “Psikologi Komunikasi,” menjelaskan bahwa terdapat empat pokok komunikasi massa, yaitu :

  1. Bersifat tidak langsung dan menggunakan media teknologi informasi seperti media elektronik dalam penyampaian pesannya.
  2. Bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antar pelaku komunikasi. Selain itu, komunikasinya bersifat irreversible, yang artinya ketika sudah terjadi tidak dapat diputar balik.
  3. Bersifat terbuka yang ditujukan pada publik dimana tidak ada batasan dan bersifat anonim.
  4. Mempunyai publik yang secara geografis tersebar tanpa ada batasan selama tools penunjang komunikasi tersebut tersedia.

Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi, kemudahan dalam melakukan komunikasi menyebabkan manusia melupakan norma-norma sosial maupun agama, seperti menghina dan memfitnah. Sehingga tindakannya yang menyinggung perasaan orang lain khususnya di media sosial seperti facebook, dirasakan secara langsung oleh orang yang dihina, dampaknya pun dialami secara cepat dan massif, hal ini sesuai dengan penjelasan dari Teori Peluru.

Dalam Teori Peluru (bullet theory) atau yang dikenal dengan teori “Hypodermic Needle” merupakan suatu pandangan yang menyatakan komunikasi massa memiliki kekuatan yang besar atas mass audience. Media massa dianggap memiliki pengaruh yang sangat besar layaknya jarum suntik yang dimasukkan dalam tubuh pasien, penerima pesan menerimanya secara langsung dan pengaruhnya spontan dirasakan.

Pemerintah telah tegas dalam mengatur dan menindak perbuatan-perbuatan ujaran kebencian, walaupun sebelumnya telah diatur dalam KUHP Bab XVI (Penghinaan) khususnya pada Pasal 310 dan Pasal 311, kemudian diperkuat dengan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, perbuatan ujaran kebencian dapat dikategorikan sebagai penghinaan, pencemaran nama baik, memprovokasi, dan perbuatan tidak menyenangkan, yang tertera jelas pada point 2f.

Dari segi UU ITE, yang secara jelas dijelaskan pada Pasal 28 jis, Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik, yang berbunyi,

“Pasal 28 :

  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi elektronik.
  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat teetentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 45 ayat (2):

  • Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Berkomunikasi merupakan kebebasan tiap individu namun perlu diingat bahwa kebebasan tersebut dibatasi oleh hak individu lain, jadi dalam melakukan komunikasi massa perlu pembatasan diri dari segi norma dan etika yang berkembang di masyarakat, khususnya di masyarakat Indonesia, mengingat konsekensi yang harus ditanggung dari pelanggaran hak tersebut masuk ranah pidana dengan aturan hukum yang jelas, dari undang-undang hingga pelaksanaan teknisnya.

Pemanfaatan media sosial seperti instagram sebagai sumber informasi, membutuhkan kebijaksanaan penggunanya, dengan atau tanpa menimbulkan kerugian bagi orang lain, mengingat tidak sedikit yang memanfaat sosial media sebagai popularitas agar followernya banyak dan profit yang menghasilkan uang. Alternatif kebijakan yang bisa dilakukan dari segi hukum adalah sosialisasi adanya ancaman pidana pada pelaku hate speech, karena tidak sedikit yang belum mengetahui konsekuensi akibat ujaran kebencian yang dilakukannya. Selain itu, dapat dilakukan early warning sistem yang dilakukan oleh software protection, dengan cara kerja apabila terdeteksi bentuk-bentuk kata atau kalimat ujaran kebencian, maka akun sosmed tersebut langsung ter-blok dan tidak dapat dibuka oleh penbaca lain, namun demikian diperlukan kejasama antara pemerintah dengan para pemilik aplikasi Sosmed, yangmana mereka menempatkan servernya di Indonesia, agar pihak berwenang Indonesia dapat melakukan monitoring.


[1] http://lawecommons.luc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1040&context=facpubs, diakses pada 13 September 2018.

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Ucapan_kebencian, diakses pada 13 September 2018

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih