Demonstrasi Tolak RUU Cipta Kerja Tidak Mendapat Simpati Masyarakat
Oleh : Zakaria )*
Ada rencana aksi demo untuk memprotes RUU Cipta Kerja yang dinilai akan merugikan para pegawai karena ada penghapusan pembatasan kontrak kerja. Masyarakat tak bersimpati kepada mereka karena membuat pengumpulan massa di pandemi sangat berbahaya. Bisa menyebabkan terjadinya penularan corona karena tidak ada jaminan mereka semua akan mematuhi protokol kesehatan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sudah mendapat surat persetujuan dari Presiden Joko Widodo bersi beberapa pasal. Di antaranya, para pegawai wajib masuk 6 hari kerja. Mereka juga boleh bekerja lembur. Jika dirumahkan, mereka bisa mendapat pesangon minimal 1 kali gaji. Ketika sudah bekerja bertahun-tahun, akan mendapat bonus tahunan dari perusahaan.
Sayangnya RUU itu mendapat penolakan dari banyak orang, terutama buruh dan mahasiswa. Mereka menilai bahwa pasal lainnya merugikan, karena tak ada lagi Upah Minimum Kerja. Juga ada penghapusan pasal tentang pembatasan kontrak kerja pegawai, sehingga dikhawatirkan akan dikontrak seumur hidup. Juga menuntut 5 hari kerja, bukan 6 hari kerja.
Para mahasiswa yang memprotes RUU tersebut akan berdemo tanggal 16 juli 2020. Remy Hastian, koordinator unjuk rasa, mengklaim sudah mengumpulkan mahasiswa dari kampus di Jabodetabek dan Banten. Bahkan prediksinya bisa mencapai ribuan orang. Para mahasiswa ramai-ramai memprotes kebijakan ketenagakerjaan yang akan disahkan oleh DPR.
Aksi protes ini malah dicibir dan tak mendapat simpati dari masyarakat. Di tengah pandemi corona, kumpulan massa yang berdemo bisa menaikkan resiko penularan virus covid-19. Karena tidak mematuhi aturan physical distancing. Di tengah demo yang melelahkan dan panas, masker bisa terlepas. Bisa memicu klaster corona yang baru dan menambah jumlah pasien.
Ditambah lagi ketika pendemo datang dari luar DKI Jakarta dan wilayahnya berstatus zona merah. Mereka jadi berstatus ODP dan bisa menularkan corona, tak hanya kepada sesama pendemo, namun juga ke orang di sekitarnya. Seperti pedagang kaki lima, sopir bus, tukang parkir, dan lain-lain. Kondisi ini akan sangat berbahaya karena jumlah pasien bisa melonjak.
Daripada berdemo sambil berdesakan dan berkeringat, bukankah lebih baik mengutus beberapa perwakilan mahasiswa untuk beraudensi dengan pejabat yang berwenang? Dengan komunikasi yang damai, bisa dijelaskan apa saja penyebab disetujuinya RUU Cipta Karya. Juga bisa mencegah penularan virus covid-19 dari ribuan mahasiswa yang sedang unjuk rasa.
Seharusnya mahasiswa bisa meniru perwakilan dari beberapa serikat buruh yang mengadakan pertemuan dengan Menko Polhukam Mahfud MD. Buruh diminta pendapat mengenai RUU ini dan Mahfud menjelaskan apa saja poin penting dari aturan baru tersebut. Hal ini dilakukan untuk mencegah kesalahpahaman yang berujung pada aksi demo besar-besaran.
RUU Cipta Kerja yang menghapus pasal tentang pembatasan kontrak kerja bukan berarti mereka hanya berstatus pegawai kontrak seumur hidup. Hal ini diungkapkan oleh Menaker Ida Fauziah. Menurutnya, sebuah perusahaan jika terus mengontrak pegawai, akan mengeluarkan banyak biaya. Pegawai kontrak yang kinerjanya bagus akan diangkat jadi pegawai tetap.
Selain itu, penghapusan UMK bukan berarti buruh dibayar dengan murah. Melainkan diganti dengan upah minimum provinsi yang nantinya diatur nominalnya oleh Gubernur. Pejabat tersebut dinilai lebih memahami kebutuhan masyarakatnya dan bisa menimbang berapa gaji yang layak bagi seorang pegawai. Jadi jangan buru-buru marah dan mengadakan aksi demo.
Rencana pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak seharusnya disambut dengan aksi demo mahasiswa. Karena dikhawatirkan malah akan jadi klaster corona yang baru dan menularkan kepada banyak orang di sekelilingnya. Seharusnya tiap pasal RUU Cipta Kerja dibaca dengan teliti, agar tak ada lagi kesalahpahaman dalam menginterpretasinya.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor