DKI 2 Baru, Demi Rakyat atau Hanya Rebutan Kekuasaan
Oleh: Yusuf Maulana
Kursi wakil gubernur DKI Jakarta masih kosong pasca ditinggalkan oleh Sandiaga Uno melaju sebagai calon wakil presiden. Telah 3 bulan lamanya Anies Baswesdan bekerja tanpa wakil memimpin Jakarta.
Nampaknya tarik menarik kursi DKI 2 sangat alot di kubu partai pengusung, PKS-Gerindra. Sebagai Gubernur yang menjomblo, Anies berharap pendamping barunya adalah orang yang sevisi dengannya bukan yang maju membawa visi sendiri.
Setelah Sandiaga Uno resmi meninggalkan kursi wagub DKI, PKS sangat berambisi untuk kedudukan wagub pengganti di DKI. Setelah kompromi alot berlangsung selama 3 bulan akhirnya Gerindra mengalah. Kini Gerindra telah memenuhi janji politik untuk PKS mendapatkan kursi no 2 DKI. Namun hal ini selain bentuk etika politik yang baik dari Gerindra, juga menunjukkan betapa haus kekuasaan dari PKS. Apalagi PKS sempat memberikan ancaman jika kader PKS tidak menjadi wagub DKI maka dukungan bagi paslon nomor urut 2 dari PKS pada pemilu akan mati.
Sehingga sekarang PKS langsung menyodorkan dua nama, yaitu Ahmad Syaikhu, kader PKS yang gagal merebut kursi Jabar 2 pada Pilkada 2018, dan Agung Yulianto yang masih menjabat sebagai Sekretaris Umum DPW PKS DKI. Kedua pasangan ini harus terlebih dahulu mengikuti proses fit and proper test dihadapan tim yang dibentuk oleh kedua koalisi partai ini.
Setengah hati memberikan kursi DKI 2 untuk PKS tertampak demikian dari sikap Gerindra. Meskipun sebagai bentuk pemenuhan kompromi politik, tapi adanya fit and proper test adalah bentuk ketidak ikhlasannya. Siapapun calon yang diajukan PKS akan dipersulit, waktunya pun akan ditunda-tunda. Meskipun fit and proper test sudah dilakukan pasti pengumumannya menunggu sampai selesai Pilpres dulu. Karena Gerindra juga masih beresiko kalah dalam Pilpres. Nantinya kehilangan dua jabatan strategis sekaligus ini akan menurunkan elektabilitas partai ini di Pemilu 2024.
Selain aroma ketidak ikhlasan Gerindra, kepentingan ekonomi dalam perebutan kursi Wagub ini mulai tercium. Sharing power pengelolaan aset-aset di Pemprov DKI bisa saja terjadi. Sebagaimana diketahui, Provinsi DKI Jakarta memiliki aset melimpah. Berdasarkan APBD Perubahan yang disahkan September lalu, APBD-nya saja mencapai Rp83,26 triliun.
Menurut pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, tidak mungkin ikutnya satu calon Wakil Gubernur, tanpa diberikan semacam otonomi atau wewenang. Apalagi melihat salah satu calonnya dari kalangan pengusaha dan bermindset bisnis. Ada lebih dari 20 BUMD yang menjadi pundi-pundi rupiah bagi Ibukota yang dapat dikompromikan.
Kendati posisi Wagub berarti juga memimpin rakyat Jakarta dan bekerja untuk kepentingan membangun Jakarta kearah lebih baik. Namun kini dengan kondisi PKS yang sangat berambisi dan Gerindra yang telah memberikan kompromi kekuasaan politik proyeksi Jakarta menuju arah lebih baik semakin surut.
Jika kader PKS yang benar menjadi Wagub DKI nantinya maka kinerja optimal dan perubahan signifikan untuk Jakarta lebih baik pasti tidak akan terasa oleh masyarakat. Mengapa demikian? Karena fokus hanya pada kekuasaan itulah politik. Kepentingan partai jauh lebih didahulukan daripada kepentingan negara. Kepentingan partai jauh lebih penting daripada kepentingan rakyat. Maka sudah jelas “Dia” yang mewakili PKS tersebut akan mementingkan kepentingan partainya
*) Pemerhati Politik dan ruang Publik