Dukung Kerja TGPF Kasus Novel Baswedan
Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Oleh : Rizal Arifin*
Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Kalimat yang tegas dan lugas ini merupakan salah satu agenda prioritas Pemerintahan Jokowi-JK yang dikenal dengan Nawacita. Tidak ada hal yang istimewa, memang itulah tugas semestinya. Namun bagi para pendahulunya, tak jarang ini terabaikan. Baik karena kompleksnya beban tanggung jawab seorang kepala negara ataupun karena alasan lainnya.
Negara tidak boleh lemah, korupsi harus segera ditiadakan, dan cita-cita kebangsaan semoga dapat direalisasikan. Namun, tidak dapat dinafikkan berbagai halangan selalu menghantui. Penyiraman air keras terhadap seorang penyidik KPK salah satunya. Penyidik tersohor dari lembaga terhormat yang banyak menyelamatkan kerugian negara. Atas kasus itu, muncul polemik dan berbagai spekulasi menyertai.
Kepolisian bergerak cepat, berbagai keterangan dan alat bukti segera dikumpulkan. Prinsip kehati-hatian selalu dikedepankan agar tidak menimbulkan polemik baru. Ini penyerangan terhadap aparat negara, harus segera diselesaikan agar tidak menghambat pelayanan masyarakat. Sepanjang perjalanannya, Polisi selalu membuka ruang publik yang seluasnya dalam menyelidiki kasus ini. Tidak peduli dengan banyak pandangan negatif yang dilontarkan oleh pihak yang ingin bermain dalam kasus ini.
Pada 8 Januari 2019 Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Tito Karnavian membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut tuntas kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK tersebut. Tim terdiri dari berbagai elemen yang memiliki kompetensi di bidang penyelidikan ini diharapkan dapat menemui titik terang kasus tersebut. Ada pejabat tinggi kepolisian, para ahli, hingga perwakilan KPK. Komposisi tim tersebut didasarkan atas tanggung jawab yang akan mereka tuntaskan. Sengaja tidak melibatkan profesional dan para tokoh masyarakat karena mereka tidak memiliki keahlian penyelidikan.
Tak selamanya niat baik akan dipandang baik. TGPF pun dikritik ramai-ramai, bahkan oleh pihak korban itu sendiri. Pengacara Novel Baswean, Al Ghifari mengungkapkan pihaknya berharap tim tersebut dibentuk Presiden dengan komposisi seimbang, dari kepolisian, pakar, dan profesional. Tim seperti ini pasti akan membantu polisi, apalagi beberapa pelaku yang terlibat diduga berasal dari kepolisian.
Ini tudingan tanpa fakta yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selayaknya pengacara mendukung kerja keras kepolisian kasus yang menimpa kliennya. Bukan malah menyudutkan kepolisan yang sedang bekerja keras melakukan penyelidikan. Agar tidak menjadi bola panas, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Muhammad Iqbal membantah tudingan tersebut, “Tim tersebut butuh orang-orang yang memahami teknis penyelidikan, bukan sosok yang semata-mata representasi eksternal kepolisian, tidak bisa disamakan dengan TGPF Munir. TGPF Munir tidak bekerja secara teknis dan terdiri dari tokoh masyarakat, tapi apakah mampu mereka menyelidiki, menganalisa CCTV, dan sebagainya?”.
Bukankah ini adalah permintaan dulu dari Novel Baswedan untuk dibentuk TGPF. Kalau sudah dibentuk dan komposisinya serta teknik penyelidikan juga mendikte kepolisian, ini contoh tidak bagus memaksa untuk dituruti semua kehendaknya. Kepolisian dengan perhitungan yang apik memutuskan ini semua. Tidak ingin ada pihak yang tidak berkompeten tapi memunculkan spekulasi yang memuat keresahan. Justru akan menjauhkan diri dari titik terang kasus ini.
Di sisi lain, Presiden Jokowi menampik bahwa pembentukan TGPF kasus penyerangan Novel Baswedan dilakukan untuk mengantisipasi debat pemilihan presiden dengan tema hukum, korupsi, HAM, dan terorisme yang berlangsung kemarin. Tudingan itu muncul karena TGPF Novel Baswedan baru dibentuk, padahal penyerangan terhadap Novel terjadi pada 11 April 2017. Ia menjelaskan Komnas HAM merekomendasikan kepada Polri agar membentuk tim gabungan yang terdiri dari unsur kepolisian, KPK, dan para pakar. Adapun tugas Presiden hanya mengawasi.
Hal senada juga disampaikan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Ia tidak menyepakati anggapan bahwa TGPF Novel Baswedan dikaitkan dengan hal bermuatan politis. Sudah semestinya kita mendukung penuh langkah tegas kepolisian mengungkap kasus ini. Jangan meributkan hal-hal yang menggangu proses penyelidikan. Atau jangan-jangan memang ada pihak yang tidak menginginkan kepolisian mengungkap kasus ini, mungkin agar Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dianggap tidak mampu menyelesaikan kasus Novel. Semuanya tentu berharap kasus Novel segera menemui jalannya. Mari kita serahkan penyelidikan kasus ini kepada pihak – pihak yang berkompeten di bidangnya.
*Penulis adalah Aktivis Pegiat Demokrasi