Golput, Penyakit Kronis Negeri Ini
Penulis : Grace Septiana )*
Beberapa hari terakhir, dalam perbincangan santai, saya dan teman akrab berdiskusi perihal politik. Salah seorang rekan menyatakan dukungan terhadap pasangan calon nomor 01 dalam Pilpres 2019. Seorang lainnya berada di pihak kontra dan memilih untuk mendukung pasangan calon nomor 02. Sementara, saya masih berada dalam kategori swing voter yang belum menetapkan pilihan tetapi sudah mempelajari rekam jejak kedua calon. Menariknya, seorang rekan lain justru menunjukkan sikap apatis dan dengan percaya diri menyatakan akan golput dalam Pilpres mendatang.
Alasannya klasik, sebagaimana alasan pendukung golput lainnya, Pilpres 2019 tidak akan berpengaruh langsung terhadap hidupnya. Tak ada manfaat dan tak ada kerugian siapa pun yang bakal terpilih nantinya. Begitulah pola pikirnya dalam diskusi politik santai yang kami ikuti. Pola pandang ini, menurut hemat saya, sangat sesat dan justru menjadi penyakit menular di negara ini. Pada dasarnya, golput dapat diartikan sebagai sikap politik rakyat yang secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya. Perilaku golput awalnya terjadi pada era 1970-an sebagai tanda bahwa masyarakat menolak sistem Pemilu yang tidak demokratis dan cenderung memaksa kepada salah satu pihak. Misalnya, PNS saat itu diwajibkan untuk memilih Partai Golkar.
Sikap tersebut agaknya masih diterima sebagai protes tidak transparannya demokrasi di Indonesia saat itu. Namun demikian, perilaku tersebut sudah sangat tidak relevan untuk dilakukan saat ini. Nyatanya, Pemilu di Indonesia saat ini sudah jauh dari kesan intimidasi dan justru sudah dalam tatanan demokrasi yang sangat sesuai. Adapun kekurangan dan kelemahan dalam beberapa hal penyelenggara Pemilu adalah hal yang wajar terjadi. Baik dimanapun, sistem buatan manusia, tentu akan ada celah dan kekurangan. Meskipun begitu, penyelenggaraan Pemilu yang adil secara menyeluruh adalah keniscayaan yang harus dikejar.
Fenomena golput di Indonesia kian kronis dan menyebar ke seluruh masyarakat. Dalam survey yang dilakukan, angka Golput pada Pemilu tahun 1955 berkisar di angka 9%. Sementara, pada Pemilu 2014, angka golput naik drastis menjad sekitar 30%. Dapat dikatakan, ketidakpedulian terhadap negara kian meningkat diiringi dengan rendahnya partisipasi publik dalam Pemilu. Sikap golput nyata-nyata menjadi bentuk ketidakpedulian masyarakat terhadap masa depan bangsa. Tampaknya, perilaku tersebut cenderung meningkat akibat kurangnya pemahaman masyarakat atas kerugian yang disebabkan oleh Golput.
Ibarat penyakit, golput membawa dampak negatif bagi negara ini. Sikap golput dapat menyebabkan kandidat yang paling buruk terpilih dan memimpin di negeri ini. Ibarat pernyataan Presiden Turki, Erdogan, jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya. Merujuk pada pernyataan tersebut, masyarakat tentunya harus sadar bahwa sikap golput justru dapat menjadi pintu dan celah bagi kandidat yang kurang baik untuk memimpin di Indonesia.
Oleh karenanya, sikap golput bukanlah solusi yang tepat, jika kedua kandidat tidak sesuai dengan kriteria masyarakat. Akan lebih baik, jika masyarakat memberikan hak pilih kepada kandidat yang memiliki rekam jejak buruk paling sedikit dibanding kandidat lainnya. Selain menyelamatkan negara dari kandidat yang kurang baik, masyarakat juga berperan dalam pencegahan manipulasi suara jika ikut memberikan hak pilih. Setidaknya, suara yang telah digunakan akan menutup potensi manipulasi suara dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
)* Penulis adalah pemerhati politik