Polemik Politik

Guru Honorer Sebagai Komoditas Politik

Penulis : Anisa Medina*

Berdasarkan data dari Kemenpan RB, sejak 2005 hingga 2013 pemerintah telah mengangkat langsung 1,1 juta pegawai honorer menjadi PNS. Jumlah tersebut merupakan 25% dari keseluruhan PNS yang ada di Indonesia dimana jumlah total PNS saat ini mencapai 4,3 juta orang. Adanya aturan penerimaan CPNS harus dibawah usia 35 tahun maka pemerintah saat ini membuka skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Lewat skema tersebut, pemerintah berupaya menjadikan pegawai honorer setara dengan PNS.

Pegawai honorer yang telah berusia 35 tahun ke atas tidak dapat memenuhi syarat mengikuti seleksi CPNS, namun dengan skema P3K tersebut tetap bisa jadi pegawai pemerintah setara PNS. Guru honorer yang tidak memenuhi syarat tersebut dapat melalui seleksi P3K dengan kualitas tetap diutamakan. Cara tersebut dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan kesejahteraan pegawai honorer.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin mengatakan skema P3K bertujuan sebagai payung hukum untuk mengakomodasi guru dan tenaga kesehatan yang berstatus honorer menjadi P3K. Dalam aturan tersebut, tenaga honorer K2 yang berkesempatan jadi CPNS harus berusia maksimal 35 tahun per 1 Agustus 2018. Aturan usia 35 tahun juga sudah tercantum pada PP Nomor 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan turunan dari Undang-Undang No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan PP yang baru skema P3K bisa diikuti oleh honorer 35 tahun ke atas. Setidaknya ada tiga tahap yang dilakukan pemerintah untuk memfasilitasi para guru honorer. Pertama, pemerintah membuka formasi CPNS khusus untuk guru honorer. Namun, guru honorer yang bisa mengikuti tes ini hanya mereka yang berusia di bawah 35 tahun sebagaimana ketentuan UU ASN. Tahap kedua, bagi mereka yang tak bisa mengikuti tes CPNS bisa mendaftarkan diri sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Peraturan Pemerintah tentang PPPK saat ini tengah difinalisasi. Tahap ketiga, jika guru honorer juga tidak lolos kriteria P3K, maka pemerintah akan mengupayakan agar meningkatkan sisa tenaga honorer. Hal tersebut guna mempertimbangkan keterbatasan anggaran serta guna memaksimalkan produktifitas kerja.

Dengan adanya P3K tersebut, CPNS maupun honorer P3K nantinya akan setara dalam hal sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas serta kesejahteraan yang sama. Peraturan ini juga dinilai lebih fleksibel karena membuka ruang bagi tenaga ahli yang ingin mengabdi pada negara namun tak ingin terikat dengan aturan yang terlalu lama. Selain itu, skema tersebut juga bisa sebagai fasilitas para pegawai honorer yang telah melewati batas usia untuk mengikuti seleksi CPNS. Sebab, skema ini lebih longgar dibanding seleksi CPNS yang sedang dibuka. Kebijakan P3K tersebut merupakan salah satu cara pemerintah untuk lebih memperhatikan tenaga honorer yang telah berjasa bagi negara namun juga agar tidak membebani anggaran APBN.

Calon wakil presiden nomor urut 2 Sandiaga Uno pada kunjungannya ketika melihat produk-produk UMKM yang dipamerkan para warga di Perum Taman Kenari Bogor 8 November 2018 lalu bertemu dan mendengarkan curhatan nasib seorang guru honorer bernama Yeni. Yeni menceritakan meskipun sudah belasan tahun bekerja mengabdi pada negara, honor yang dibayarkan dianggap kecil dan jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Bahkan di beberapa daerah ada yang menerima honor Rp150 ribu sebulan. Kesejahteraan guru honorer dianggap tidak diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah dinilai tidak adil dalam memperhatikan kesejahteraan guru honorer. Dalam dialognya, Sandiaga berjanji akan lebih memperhatikan kesejahteraan guru terutama honorer karena peningkatan kesejahteraan guru dinilai akan membangkitkan gairah dan kualitas pengajaran. Sandiaga juga mengatakan bahwa sudah menandatangani kontrak politik dengan honorer K2, namun hal tersebut dapat merugikan dan mencederai kepercayaan guru karena hanya akan dimanfaatkan sebagai komoditas politik untuk meningkatkan citra Sandiaga dimata guru. Penandatanganan kontrak tersebut juga dinilai tidak realistis karena hanya menyebut akan mencarikan solusi permanen untuk guru honorer tanpa menyebutkan langkah konkret yang akan dicapai.

Berdasarkan pernyataan tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Sandi mengatakan bahwa akan menaikkan gaji guru hingga Rp 20 juta. Hal tersebut dianggap kurang realistis karena akan membutuhkan anggaran yang sangat besar dan patut dipertanyakan darimana anggaran itu nantinya karena APBN dinilai tidak akan bisa memenuhi.

Oleh karena itu, langkah konkret yang harusnya dilakukan adalah pengangkatan guru menjadi PNS agaknya perlu standart kompetensi dan seleksi yang baik agar anggaran negara tidak terlalu terbebani namun menghasilkan output yang berkualitas bagi generasi penerus bangsa karena guru merupakan jembatan bagi generasi yang akan datang agar bisa menjadi bangsa yang cerdas dimasa mendatang.

 

*) Penulis merupakan pemerhati sosial politik

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih