Hoax dan Tantangan Penanganan Pandemi Covid-19
Oleh: Abie*
Hoax menjadi tantangan dalam penanganan pandemi Covid-19. Masyarakat pun diminta untuk kritis dalam menyikapi informasi yang berkembang.
Berapa hari terakhir jagat maya dihebohkan dengan pernyataan seorang dokter Bernama Lois di salah satu acara talkshow TV nasional (Hotman Paris Show). Alih-alih pernyataan yang disampaikan dapat menginspirasi khalayak namun justru menimbulkan kontroversi dan anarkisme dari sebuah informasi.
Kontroversi yang ditimbulkan dr Lois berawal dari pernyataan bahwa orang-orang yang meninggal bukan karena Covid-19, tapi akibat interaksi obat. Selain itu, yang bersangkutan juga menyatakan dengan tegas tidak percaya pada Covid-19.
Tayangan tersebut kemudian viral di media sosial mengingat isu yang dibahas cukup populer yang dikomentari oleh seorang tenaga medis. Beragam interaksi sosial dijagat raya muncul menanggapi pernyataan tersebut dengan memberikan like, repost dan memberikan komentar.
Bahkan pernyataan dr. Lois mendapat tanggapan dari guru besar farmasi UGM Zullies Ikawati. Dia memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan interaksi obat.
Dikutip dari merdeka.com, Zullies Ikawati mengatakan “Interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien. Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain (bersifat sinergis atau additif), atau mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan,”
Interaksi obat tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual. kata Zullies
Banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid). Hal serupa juga terjadi pada kasus pasien-pasien Covid-19 yang memiliki komorbid.
“Sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru. Dalam hal ini, obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah,” jelas Zullies.
Dalam kasus obat terapi Covid-19, Zullies menjelaskan, kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi. Pada kasus Covid-19 yang bergejala sedang sampai berat misalnya, maka dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yang sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Zullies menjelaskan bahwa pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya. Mekanisme interaksi obat itu sendiri bisa melibatkan aspek farmakokinetik (mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya). Dapat disimpulkan bahwa interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian.
Akibat dari pernyataan kontroversi tersebut, Polisi menetapkan dokter Lois Owien sebagai tersangka. Ia dianggap menyiarkan berita bohong soal Covid-19 yang menimbulkan keonaran publik.
“(Dokter Lois) menjadi tersangka tindak pidana menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA dan atau tindak pidana menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,” kata Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Agus Andrianto saat dihubungi, Selasa (13/7/2021).
Agus mengatakan, Lois disangkakan dengan pasal berlapis, di antaranya pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Wabah Penyakit Menular. Lois dijerat Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan UU Nomor 4 Tahun 1984 dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Kasusnya kemudian dilimpahkan ke Mabes Polri. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, Lois ditangkap atas dugaan menyebarkan berita bohong terkait penanganan Covid-19.
Ia mengungkapkan, Lois diduga menyebarkan berita bohong di tiga platform media sosial. “Dokter L telah menyebarkan berita bohong dan atau menyiarkan pemberitaan bohong dengan sengaja yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat dan atau menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular yang ia lakukan di beberapa platform media sosial,” kata Ramadhan dalam konferensi secara daring.
Penetapan tersebut tentunya perlu mendapat apresiasi agar meminimalisir informasi hoax di masyarakat, mengingat saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia masih berjuang melawan Covid-19.
Sedikit banyaknya, di era post truth saat ini banyak dari konsumen informasi tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah. Akibatnya, orang yang sudah Lelah dan jenuh dengan kondisi pandemic akan dengan mudah mengamini informasi yang sesuai dengan kehendaknya.
Jika begitu, akan terjadi distorsi informasi di masyarakat sehingga menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap penanganan Covid-19.
Maraknya informasi hoax selama pandemic covid-19 juga telah memberi kontribusi dalam menghambat upaya penangan Covid-19 dengan munculnya persepsi dan sikap apatis di masyarakat.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)