Homeschooling Eksklusif Rentan Terpapar Radikalisme
Oleh : Edi Jatmiko )*
Kegiatan belajar mengajar pada homeschooling dinilai cukup rentan terpapar radikalisme. Hal ini mencuat pasca terjadinya Bom bunuh diri di Jawa Timur yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Diduga, orang tua memberlakukan homeschooling agar sang anak mampu dikendalikan.
Basis Pendidikan anak sebetulnya ada pada orang tua. Semua yang berhubungan dengan buah hati tentunya akan dipilih secara maksimal. Hal ini akan memegang peranan atas tumbuh kembang anak termasuk pola pikir. Rentannya homeschooling yang dipilih orang tua guna mendidik anak kini mulai mencuat, pasca terjadinya bom bunuh diri di Jawa Timur beberapa waktu lalu yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Kegiatan indoktrinasi pelaku bom termasuk memilihkan homseschooling untuk akses pendidikan sang anak dinilai rentan radikalisme. Pelaku Seolah tak ingin anaknya terpengaruh dunia luar atau takut tak menuruti perintah orang tua.
Homeschooling sebenarnya hampir sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Hanya saja, pada program Homeschooling ini kemungkinan orang tua akan lebih mudah memantau serta memberikan pengarahan. Jika Homeschooling pada umumnya mempekerjakan guru dari luar, sementara homeschooling yang dinilai mudah terpapar radikalisme ini seringkali diampu oleh orang tua sendiri. Sehingga potensi untuk memasukkan paham-paham yang menyimpang menjadi lebih besar.
Coba kita lihat, tumbuh kembang anak yang bersekolah disekolah umum dan homeschooling, tentunya akan sangat berbeda. Bagaimana cara mereka berkomunikasi, cara bergaul hingga menilai suatu masalah termasuk anak pelaku radikalisme ini biasanya cenderung menutup diri dalam bersosialisasi. Parahnya anak-anak pelaku radikalisme ini sengaja dicetak menjadi kloning pelaku paham radikal.
Sebelumnya, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menyatakan bahwa proses pembelajaran homeschooling (HS) rentan terhadap penyebaran paham radikalisme. Hal ini didasarkan atas pembelajaran yang fleksibel, penjauhan anak-anak dari nilai-nilai umum, serta longgarnya pengawasan pemerintah menjadi celah guna menyuburkan transfer ilmu agama secara radikal.
Arif Subhan selaku Koordinator Peneliti PPIM UIN Jakarta menuturkan, hasil penelitiannya bukan lantas menggeneralisasi bahwa HS ini radikal, namun tetap berpotensi menyuburkan paham radikalisme. Dari sebanyak 56 sampel HS yang tersebar di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Surabaya, Solo , Makassar, dan Padang, terdapat sekitar lima HS yang terindikasi telah terpapar radikalisme. Bahkan, Kelimanya merupakan HS yang memiliki basis ajaran Islam yang bersifat eksklusif (spesial).
Jika dilihat dari Permendikbud 129/2014, praktik HS terbagi menjadi dua. Pertama yaitu, HS yang menempatkan orang tua sebagai guru. Kedua, orang tua mengikutsertakan anaknya di komunitas HS atau mengundang guru ke rumah guna mengajar. HS sendiri biasanya diberikan merujuk pada kebutuhan anak, orang tua, maupun ajaran agama.
Kelompok HS yang mempunyai dasar ajaran Islam memaknai ibu adalah sekolah yang utama. Mereka mempercayai model pendidikan al-salaf al-shalih (kaum salaf) merupakan pendidikan yang ideal bagi muslim. Yakni, Menanamkan tauhid dan baca tulis Alquran seperti yang dipraktikkan pada zaman Nabi Muhammad SAW dan juga para sahabat. Motivasinya ialah dengan memberikan pendidikan agama, khususnya akidah yang benar dan kuat.
Sementara itu, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, turut mewaspadai keterlibatan anak dalam aksi terorisme sebagai modus baru dengan cara mendoktrin anak secara terus-menerus oleh pelaku. Arist menambahkan bahwa usia anak-anak ini memang dinilai sangat rawan serta mudah untuk dipengaruhi sebab mereka masih memasuki usia yang sangat peka dan sensitif.
Berkenaan dengan anak-anak pelaku teror bom bunuh diri di wilayah Jawa Timur ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengaku sulit untuk memantau penyebaran paham radikalisme yang berpotensi akan menyebar melalui sekolah informal, khususnya sekolah rumahan atau homeschooling tunggal yang diadakan oleh orang tua dalam lingkup satu keluarga.
Harris Iskandar selaku Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud tak memungkiri bahwa homeschooling tunggal mungkin menjadi sarana baru bagi orang tua mengajarkan radikalisme pada anak mereka.
Pendidikan memang sangat berperan penting dalam proses pembentukan karakter seorang anak. Dari pendidikan anak akan terarah untuk memilih jalan yang mereka yakini benar sesuai ajaran atas pendidikan yang mereka dapatkan. Yang dikhawatirkan ialah jika cara mendidik dengan beragam doktrin-doktrin yang salah dan menyimpang tentunya akan membuat anak makin terjerumus kedalam pemikiran yang salah. Maka dari itu pemerintah mewanti-wanti agar dapat selektif dalam memilih sarana pendidikan. Apalagi pemerintah tidak pernah mendapatkan data lengkap terkait homeschooling ini.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik