Hutang Indonesia Untuk Kebutuhan Produktif
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Berita tentang semakin membengkaknya utang negara membuat rakyat khawatir dan resah. Belakangan ini berbagai pendapat mengenai permasalahan ini santer diperbincangkan. Para pengamat di bidang ekonomi juga turut berbicara mengenai utang Indonesia yang telah menembus angka Rp. 4000 triliun di tahun 2018 ini. Banyak pihak yang mengkhawatirkan kondisi ini akan semakin bertambah parah dan takut jika pemerintah sampai gagal bayar sehingga membuat utang Indonesia menumpuk.
Melihat semakin kisruhnya opini publik dan pemberitaan mengenai utang negara, Menkeu Sri Mulyani pun akhirnya memberikan penjelasan secara tertulis atas kasus ini. Beliau pun menjelaskan persoalan utang Indonesia masih pada batas yang wajar dan aman. Menurut Sri Mulyani, permasalahan utang Indonesia yang meningkat akhir-akhir ini bukan berati Indonesia sedang dalam kondisi krisis utang.
Jika menyorot pada utang Indonesia yang bertambah, memang diakui ada kenaikan. Namun, persoalan ini tidak hanya dilihat dari sisi utangnya saja. Para pakar ekonomi maupun elite politik yang mempermasalahka soal kenaikan utang negara hendaknya melihat kondisi ini secara keseluruhan. Pemerintah menggunakan dana utang tersebut dan dikelola dengan baik.
Seperti yang kita ketahui, di Era Jokowi Indonesia sedang gencar memperbaiki infrastruktur. Ada bayak kegiatan produtif berupa peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan juga pembangunan nasional lainnya.
Seperti yang dijelaskan oleh Menkeu Sri Mulyani, di tahun 2017 nilai aset yang dimiliki negara mengalami peningkatan, yakni dari Rp. 781 triliun kini menjadi Rp. 2.648 triliun. Selain itu, sebenarnya meski utang Indonesia telihat besar, namun jumlah itu masih berada dalam batas yang aman menurut undang-undang.
Besaran utang negara sebenarnya telah diatur dengan baik dan tertuang dalam undang-undang. Dikatakan bahwa rasio utang negara maksimal adalah 60% dari PDB. Saat ini rasio utang negara masih berada di kisaran 30% dari PDB.
Seperti yang dikatakan pesiden Jokowi dalam pidatonya. Beliau mengatakan bahwa pemerintah tetap berusaha untuk menjaga utang di bawah 30% dari PDB. Pada tahun 2013, rasio utang negara Indonesia sebesar 29,13% dari PDB. Lalu kemudian meningkat di 2014 menjadi 32,95%. Kemudian meningkat lagi hingga menyentuh angka 36,09%, tapi lantas di angka 34,05% pada 2016.
Selama ini pemerintah mengelola sumber pembiayaan baik dalam negeri maupun luar negeri yakni dalam bentuk utang. Dana tesebut akan digunakan seaik mungkin untuk menjalankan program pembangunan nasional yang sudah direncanakan.
Pemerintah telah memiliki SDM handal yang selalu mengawasi rasio utang negara berada di jalur yang masih aman. Penggunaan keuangan dilakukan secara transparan serta akuntabel. Dalam kebijakan pemerintah, dana utang juga digunakan untuk pembangunan pasar keuangan serta obligasi di dalam negeri. Dengan demikian, utang tidak hanya berfungsi sebagai faktor penambah devisit negara melainkan juga sebagai instrumen investasi untuk rakyat Indonesia.
Menurut data, investor di bidang ritel sejak 2006 mengalami kenaikan. Total dari investor ritel surat berharga negara (SBN) mencapai 501.713. Bahkan yang mengejutkan investor individual tersebut memiliki usia yang cukup muda yakni ada yang dibawah 25 tahun, jumlah mereka sebanyak 3%. Rata-rata usia investor saat ini 25-55 tahun. Ada pula ibu rumah tangga yang juga mengenal investasi SBN, jumlah mereka sebesar 13-16%.
Adanya data tersebut menjawab pertanyaan masyarakat yang mengkhwatirkan jika pembelian obligasi atau SBN lebih banyak jatuh ke investor asing. Karenanya dana utang juga digunakan untuk pembangunan pasar keuangan dalam negeri agar pemerintah bisa membuat masyarakat berpartisipasi dalam hal tersebut.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa utang Indonesia yang jumlahnya terlihat semakin naik membuat rakyat Indonesia resah dan meminta pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah memang berhati-hati dalam mengelola utang negara. Lebih jauh lagi Sri Mulyani mengatakan bahwa saat ini defisit APBN juga masih terkendali.
Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan saat ini pemerintah tengah berfokus pada pembangunan infrastruktur. Perlu diketahui bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia masih tertinggal dari negara lainnya. Ketika jauh tertinggal, justru akan menimbulkan masalah bagi Indonesia. Tertinggalnya infrastruktur kita akan berdampak pada tingginya biaya ekonomi, rendahnya daya saing, serta ketimpangan sosial dan ekonomi.
Karena itulah Indonesia mengajukan pinjaman lebih tinggi dari sebelumnya. Dana utang tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur agar Indonesia semakin produktif. Seperti yang kita tahu, dana subsidi energi saat ini juga dialihkan untuk pembangunan nasional. Diharapkan nantinya pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin baik dan dapat meningkat. Saat ini pun jumlah pekerja di Indonesia mengalami peningkatan, dari 112,76 naik menjadi 118,41 juta dalam kurun tahun 2013 hingga 2018.
Selain itu, Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa negara sebenarnya tidak memiliki tujuan untuk berutang. Tapi memang utang saat ini diperlukan sebagai instrumen untuk membiayai APBN. Anggaran yang tidak mencukupi membuat pemerintah terpaksa berutang.
Di sisi lain, pemerintah membutuhkan dana untuk membayar gaji pegawai, anggaran listrik, anggaran bidang pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Utang yang saat ini mengalami kenaikan juga untuk membiayai segala sesuatu yang sudah ditetapkan dalam APBN.
Lalu, pertayaannya kapan ya Indonesia mampu terbebas dari utang? Atau minimal tidak lagi berutang di tahun berikutnya? Pertanyaan itu rupanya sudah sering ditanyakan kepada Menkeu. Sri Mulyani pun menjawab, Indonesia bisa saja tidak berutang jika pendapatan yang diterima pemerintah bisa lebih besar dibandingkan kebutuhan belanja negara.
Saat ini Indonesia memang sedang giat melakukan pembagunan sehingga membutuhkan anggaran belanja yang tinggi. Sri Mulyani juga menuturkan, meski utang Indonesia terlihat tinggi namun aset negara juga meningkat. Dapat dilihat dari hasil audit BPK atau Badan Pemeriksa keuangan, total aset pemerintah mencapai Rp. 5.456,88 triliun di tahun 2016. Kemudian di tahun 2017 nilai aset negara juga mengalami peningkatan. Nilai aset yang naik tersebut perlu juga diperhatikn sebagai sebuah langkah positif.
Selain itu, Menkeu Sri Mulyani juga meluruskan pendapat dari beberapa pihak yang membandingkan utang dengan kebutuhan belanja negara. Sri Mulyani menuturkan bahwa anggaran dari utang tidak hanya digunakan oleh pemerintah pusat saja, tapi juga untuk keperluan pemerintah daerah. Menurut Sri Mulyani, dari tahun ke tahun rasio utang indonesia masih stabil dan dapat dikendalikan. Utang negara sampai saat ini masih dikategorikan aman.
Sebaiknya kita melihat kenaikan utang Indonesia ini tidak hanya dari satu sisi saja. Tapi juga melihat hasil dari kebijakan tersebut. Infrastuktur Indonesia akan semakin baik sehingga produktifitas meningkat. Mari bersama mendukung pemerintah agar bisa menjalankan tugas dengan baik dan perekonomian Indonesia menjadi semakin sejahtera.
Sebagai rakyat, kita pun perlu bersikap optimis bahwa Indonesia akan mampu membayar utang seperti yang telah diusahakan oleh pemerintah. Karena kita pun tahu pembangunan nasional adalah demi untuk kesejahteaan rakyat Indonesia. Demi tercapainya negara maju dan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama sebagai bangsa yang merdeka.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis (LSISI)