Identik dengan kepemimpinan militeristik, Prabowo menuai kritik
Oleh : Teguh Wibowo )*
Sejumlah kritik datang menghujani Prabowo. Kritik ini berupa opini – opini masyarakat Indonesia yang menuding Prabowo berpotensi menjadi pemimpin yang militeristik dan represif. Hal ini ditakutkan oleh masyarakat karena dapat merugikan masyarakat. Maka dari itu, kecemasan warga terus bertambah jelang Pilpres 2019 mendatang. Pasalnya, masyarakat ini takut. Kalau – kalau Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang tercatat sebagai pasangan Capres ini terpilih, maka gaya kemimpinan mileteristik represif ini akan dipakanya. Korelasinya bagi kaum buruh jika benar – benar terjadi adalah ancaman yang cukup serius.
Seperti yang kita ketahui cara militeristik dan represif acapkali dipakai oleh rezim untuk mengancam masyarakat, khususnya buruh yang melakukan berbagai gerakan. Hal ini berkaitan erat dengan unjuk rasa yang sempat digelar para buruh untuk meminta agar Prabowo tidak diloloskan sebagai cawapres. Seperti yang dikatakan Maruli sebagai koordinator aksi LBH Prabowo diminta untuk tidak diloloskan karena erat hubungannya dengan kepemimpinan militeristik itu.
Selain demikian, kepemimpinan Prabowo juga bakal berbau militer. Pasalnya Capres nomor 2 ini merupakan jebolan anggota militer. Terkait masalah tersebut, Maruli juga mengkhawatirkan jika Prabowo benar – benar menjadi Presiden nasib buruh akan terlantar. Selain itu, Maruli juga menghimbau kepada masyarakat terutama buruh, untuk cerdas dalam memilih presiden di Pilpres mendatang. Maruli menginginkn presiden yang mampu menghormati kebebasan.
Pihaknya juga mengatakan, Prabowo Subianto adalah pemimpin yang berpotensi mengancam masa depan kebebasan berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Menurutnya, jika Prabowo jadi presiden, jangankan menuntut upah, demo pun pastinya akan dilarang.
Dengan opini tersebut, kemudian masyarakat menyerap kekhawatiran yang sama dengan apa yang diorasikan para pengunjuk rasa di kantor KPU lalu. Hal serupa juga dirasakan banyak pihak selain buruh. Mereka menganggap kepemimpinan yang demikian kurang etis bahkan sangat tidak etis jika diterapkan di Indonesia yang notabene negara demokrasi pancasila. Di mana negara sangat menjunjung nilai – nilai pancasila dan mematuhi undang – undang yang ada. Secara otomatis, gaya kepemimpinan Prabowo ini sangat bertolak belakang dengan HAM yang diagungkan di negara kita tercinta.
Sebagian masyarakat yang telah menyerap masalah tersebut kemudian juga mengaitkan dengan kemarahan Prabowo terhadap pers terkait reuni 212 tanggal 2 desember lalu. Pihaknya, menyayangkan jika acara sebesar itu harus sepi dari pemberitaan media. Kemarahannya inilah yang menunjukan Prabowo ini memiliki karakter temperamen. Kaitannya dengan aksi 212 sebenarnya tidak begittu erat, andai saja aksi ini memang tidak mengusung namanya. Seperti yang dicurigai sebelum reuni akbar ini digelar, bahwa tujuannya adalah politik. Ternyata, setelah kemarahan Prabowo terhadap pers yang enggan meliput reuni ini justru semakin membuktikan bahwa aksi reuni 212 ini memang memiliki tujuan politik.
Masih tentang kemarahan Prabowo, masyarakat juga menilai jika calon presiden ini ingin dirinya dianggap eksis. Bagi kaum wartawan sendiri, mungkin saja acara yang digelar itu sudah tidak menarik lagi dijadikan topik. Pasalnya, sebelum acar reuni akbar 212 ini belum digelar saja sudah menuai berbagai konflik dan kontroversi.
Terkait izin misalnya, beberapa hari sebelum digelarnya acara itu pihak polisi belum juga memberikan izin. Selain itu, banyak lagi kontroversi yang berlangsung dan menjadi sorotan berbagai pihak. Jadi saat pelaksanaan acara reuni ini justru sepi dengan pemberitaan. Pihaknya mungkin menilai hal itu sudah tidak perlu lagi karena cukup kontroversial dan cukup menjadi topik selama beberapa pekan.
Pers yang di jadikan sasaran kemarahan Prabowo pun kini merasa terpojok karena disalahkan oleh Prabowo terkait peliputan acara reuni akbar 212. Karenanya, konflik baru tumbuh di antara hubungan mereka. Prabowo marah terhadap pers, namun dia tidak memikirkan efek panjangnya. Yaitu jika pers sampai berbalik marah, maka segala acara yang digelarnya akan selalu sepi dari media, sebab pihak pers enggan meliputnya.
Jadi, kepemimpinan Prabowo yang djanjikan malah menambah kekhawatiran masyarakat. Mulai dari akan meniru presiden Soeharto dalam gaya kepemimpinannya, militeristik, otoriter dan sebagainya justru menjadi dilema bagi dirinya sendri. Mungkin, sebelum mengucapkannya di depan khalayak dia tidak berfikir panjang dulu sehingga malah menimbulkan keresahan hati masyarakat jika memilih dirinya untuk menjadi presiden RI.
Menyusul masalah itu, kaum buruh pun sedang memperjuangkan nasibnya agar mereka masih tetap mendapatkan kebebasan berpendapat, mendemo kenaikan gaji, berserikat dan lain sebagainya. Jelasnya, kepemimpinan model Prabowo yang sudah digembor – gemborkan sebelum menjadi presiden sungguhan sangat represif dan sangat renyan dengan otoriter, militeristik yang sangat tidak membuat nyaman rakyat Indonesia. Dinilai oleh masyarakat gaya kepemimpinan tersebut adalah tidak cocok diterapkan di negara Demokrasi.
)* Penulis adalah pemerhati politik