Intrik HTI Memecah Umat
Oleh: Ricky Putra Syahreza*
Heboh akibat pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid pada acara Hari Santri Nasional oleh beberapa oknum anggota Banser di Garut masih akan berlanjut. Sama seperti isu-isu agama sebelumnya, oknum tertentu akan terus memanfaatkan tanggal cantik untuk menggelar Aksi Bela Tauhid hingga berjilid-jilid. Situasi politik menjelang Pilpres diyakini sebagai latar belakang utama mengapa kasus ini akan terus diupayakan untuk berkembang.
Berdasarkan fakta penyelidikan Polri, bendera yang dibakar anggota Banser NU bukanlah bendera tauhid tetapi bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bendera tersebut memang bermodel sama dengan bendera kelompok teroris dunia seperti ISIS yang sama-sama bertuliskan kalimat tauhid serta berwarna hitam. Bendera itu berwarna hitam karena pihak HTI beranggapan bahwa hitam adalah warna perang pada masa Rasulullah SAW.
PBNU menilai isu pembakaran bendera HTI yang dikemas dengan pembakaran lafal Tauhid merupakan upaya provokasi HTI dengan memanfaatkan peringatan HSN. Isu tersebut bertujuan untuk menghilangkan makna peringatan HSN sebagai sebuah entry point kebangkitan politik kaum santri dan diplintir untuk menyudutkan kaum santri.
Hal ini sesuai dengan temuan investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) PBNU, yang menunjukkan bahwa aksi pengibaran dan pemasangan bendera HTI terjadi di berbagai lokasi yang merata hamper di seluruh wilayah Jawa Barat, seperti Sumedang, Kuningan, Ciamis, Banjar, Bandung, Tasikmalaya, dan lain-lain.
Namun yang memunculkan polemik adalah adanya perbedaan pandangan dan persepsi umat muslim di Indonesia. Kesenjangan pendidikan dan perbedaan pola berpikir mungkin menyebabkan perpecahan tersebut, muslim “konkretis” dan muslim “intuitif”. Ketika beberapa oknum Banser membakar bendera HTI, kemarahan muslim konkretis inipun langsung berkobar karena mereka berpikir bahwa bendera itu identik dengan ketauhidan. Mereka ngotot bahwa yang dibakar adalah bendera Rasulullah, meskipun sudah sangat banyak penjelasan dari ulama-ulama yang muktabar bahwa hadits tentang bendera Rasulullah adalah dhaif.
Sementara muslim intuitif melihat persoalan tersebut secara lebih komprehensif. Peristiwa pembakaran bendera HTI di Garut terjadi karena adanya penyusup dalam acara HSN yang sebelumnya sudah disepakati bahwa hanya merah putih yang boleh dikibarkan. Namun ketika ditemukan adanya penyusup yang mengibarkan bendera ormas terlarang, beberapa anggota Banser rupanya terprovokasi dan membakar bendera “ormas” terlarang itu. Kegeraman terhadap HTI ini didasari oleh keyakinan bahwa paham HTI yang ingin menegakkan khilafah islamiyah di Indonesia ini sangat berbahaya bagi kelangsungan NKRI.
Permasalahan yang saat ini terjadi di Indonesia adalah jumlah muslim konkretis di Indonesia jauh lebih banyak dibanding muslim intuitif. Parahnya lagi, muslim konkretis tersebut cenderung hanya ‘ikut-ikut aja’ tanpa mencari kebenaran suatu permaaalahan. Polanya sama, tokoh-tokoh muslim yang kebetulan mempunyai banyak pengikut menyampaikan pendapatnya tentang suatu permasalahan dengan emosi, jamaah-nya pun ikut tersulut kemarahannya kemudian diselenggarakanlah aksi-aksi yang banyak ditunggangi kepentingan politis.
Fakta bahwa ada dorongan politis dalam Aksi Bela Tauhid itu tak bisa disangkal. Beberapa bukti menunjukkan bahwa aksi ini condong ke arah kepentingan politik, dibandingkan membela agama. Hal itu bisa ditelusuri dari beberapa bukti, pertama, inisiator Aksi Bela Tauhid ini rata-rata adalah pendukung Capres-Cawapres tertentu.
Kedua, adanya seruan ganti presiden dari orator aksi. Isu yang dibangun para inisiator Aksi Bela Tauhid pun terlihat menyalahkan pemerintah yang terkesan diam atas insiden pembakaran bendera tersebut. Mereka juga menyebut bahwa pemerintahan Jokowi ini pro-pembakar bendera, sehingga sama saja bahwa rezim Jokowi ini adalah musuh agama Islam dan menjadi musuh umat Islam. Ya, seperti itulah isu yang hendak dibangun.
Antara pembakaran bendera HTI, panasnya linimasa warganet, dan Aksi Bela Tauhid adalah rangkaian yang tak terpisah. Ketiganya diduga kuat bermotif politis, bukan bela agama sebagaimana yang telah digaungkan selama ini. Meskipun telah dibubarkan oleh pemerintah, namun pergerakan-pergerakan anggora HTI telah berhasil menjebak Banser dan mengadu domba umat Islam di Indonesia.
Keberhasilan HTI dalam mengusik Indonesia tercermin dalam peristiwa pengibaran bendera HTI di Poso. Massa Aksi Bela Tauhid menurunkan bendera Merah Putih yang berkibar di halaman DPRD Kab. Poso dan menggantinya dengan bendera HTI. Tidak hanya di halaman DPRD, massa juga mengibarkan bendera HTI di Lapangan Sintuwu Maroso. Entah butuh berapa banyak bendera Merah Putih yang diturunkan sebelum masyarakat sadar bahwa HTI masih ada dan terus berupaya untuk memecah belah umat Islam.
Berkaca pada Aksi Bela Tauhid pekan lalu, aksi tersebut malah menyebabkan banyak sampah kertas, pamflet, ikat kepala, bendera, dan spanduk bertuliskan kalimat tauhid berceceran di jalan bahkan selokan. Lalu apa yang sebetulnya kalian bela ? Kalimat tauhid tidak butuh dibela, yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana tauhid bisa kokoh didalam hati kita sebagai pelindung dari syirik dan untuk diamalkan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Padjajaran