Jelang Pemilu, Waspadai Politisasi Masjid.
Penulis : Bustomi Mubarok*
Politisasi masjid memang sudah diterapkan pada pesta demokrasi sebelumnya oleh para politikus. Hal ini diterapkan agar kelompoknya dapat mendulang suara dari para jamaah. Sebagian masyarakat juga mengeluhkan tentang kampanye hitam yang dibalut dengan nuansa dakwah syariat islam. Hal ini tentu akan mendapat penolakan oleh masyarakat apabila tempat ibadah seperti masjid disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Pada tahun 2017, aksi walk out atau meninggalkan masjid ketika materi khutbah mengandung unsur politis sempat booming. Tatkala pada saat itu masyarakat merasa tidak nyaman ketika khatib yang sepatutnya mengajarkan perihal keagamaan, dinodai oleh persoalan politik. Berkat hal tersebut, jutaan orang mendeklarasikan program anti politisasi masjid. Aksi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya. Menjelang pesta demokrasi pada April mendatang, kita sebagai masyarakat tentu harus cerdas dalam membedakan antara politisasi untuk kepentingan seluruh umat atau politisasi untuk kepentingan golongannya sendiri. Hal yang juga tak kalah penting adalah upaya untuk membangun literasi politik masyarakat. Karena dengan literasi politik yang mumpuni, maka perlahan akan menggeser pembicaraan mengenai pro dan anti kubu – kubu tertentu menjadi pembicaraan yang membahas mengenai kebijakan publik. Apabila masyarakat memiliki literasi politik yang baik, maka dengan sendirinya upaya fitnah dan black campaign akan sirna dari mimbar masjid. Pada akhirnya, masyarakat akan terfokus pada isu substansial mengenai apa yang bisa mereka peroleh sebagai warga negara.
Menjadikan Masjid sebagai tempat untuk menyebarkan ujaran politis memang sungguh tidak etis, mengingat di dalam masjid terdapat banyak jamaah yang memiliki ideologi politis yang berbeda. Salah satu indikasi gerakan politisasi masjid adalah isi ceramah atau khutbah yang mengarahkan jamaah pada kepentingan tertentu, jika hal ini terjadi maka tidak menutup kemungkinan, perpecahan sesama umat akan sulit untuk dihindari. Menilik dari fungsinya, Masjid berfungsi sebagai tempat ibadah maupun tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sehingga apabila politisasi masjid memang benar – benar ada, maka hal tersebut tentu mendegradasi fungsi dari masjid itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan pemahaman yang imbang, inklusif dan rasional. Pemahaman seperti ini akan melahirkan pemahaman perilaku politik yang wajar, imbang dan inklusif. Memisahkan politik dari agama memang manjadi sebuah keharusan bagi negara – negara yang menganut paham sekuler. Karena memang agama sama sekali tidak ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun inilah keunikan Indonesia. bahwa Indonesia memang bukan negara agama. Tetapi agama menjadi bagian mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu segala macam upaya dakwah yang berpotensi memecah belah bangsa patutlah dicurigai. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat menemukan pelanggaran kampanye Pemilu Presiden 2019, dimana terdapat ustaz yang menyelipkan pesan kampanye dalam khotbahnya di sejumlah masjid di Provinsi Jawa Barat. Padahal segala bentuk kampanye politik di rumah ibadah seperti masjid merupakan hal yang bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum KPU yang melarang kampanye di tempat ibadah, sarana pendidikan dan fasilitas pemerintahan. MUI juga menilai selain melanggar peraturan dari KPU, hal tersebut juga menodai agama karena terjadi politisasi agama. Semestinya pengajaran agama tidak dinodai dengan pengarahan kepada umat untuk memilih salah satu nama atau nomor pasangan calon presiden. Takmir masjid memiliki peran untuk menyampaikan pesan kedamaian dan menumbuhkan sikap toleran terhadap perbedaan. Tentu jangan sampai perbedaan pandangan politik membawa sumber permasalahan, sejatinya pemilu adalah wujud dari semangat berdemokrasi, bukan menebar kebencian dan caci maki.
Salah satu politisasi masjid yang sempat marak adalah gerakan sholat shubuh berjamaah, sekilas gerakan ini memang gerakan ibadah yang sangat baik, namun ceramah yang disampaikan setelah sholat shubuh itulah yang patut untuk dikritisi. Indikasi gerakan shalat shubuh yang dipolitisasi bisa dilihat dari materi ceramahnya, baik kultum maupun khutbah yang menggiring opini pada kepentingan politik tertentu. Bisa jadi hal ini disampaikan secara terang – terangan maupun eksplisit. Hal ini tentu cukup mengkhawatirkan, karena penggiringan opini tentang politik dapat memicu perpecahan dalam lingkungan jamaah. Gerakan Sholat Shubuh berjamaah untuk memakmurkan masjid bukanlah hal baru. Namun hal ini menjadi lain urusan, ketika gerakan sholat Shubuh berjamaah dijadikan sebagai momen kelanjutan aksi sholat Jumat di Monas, yang dikenal dengan aksi 212 dan diberi titel Gerakan Shubuh Berjamaah 212.
Sholat berjamaah tentu merupakan ajaran yang baik, bagi pemeluk agama Islam tentunya membawa kebaikan dan bukan kemudharatan. Sehingga, permasalahan ini bukan pada gerakan sholat shubuh berjamaahnya, tetapi kegiatan diluar sholat yang bermasalah jika tidak sesuai dengan tujuan sholat berjamaah itu sendiri. Pelopor gerakan sholat Shubuh berjamaah sudah sepatutnya memahami kaidah hukum yang mewajibkan untuk menghindari kemudharatan dalam berdakwah. Meski Nabi dan para sahabat berbicara tentang politik di masjid, namun mereka tidak menjadikannya sebagai tempat untuk ajang kampanye. Politisasi masjid nyatanya memiliki kegunaan tersendiri bagi oknum pelaku pemilu yang terobsesi akan jabatan, yaitu untuk meraup suara hingga menjatuhkan lawan politiknya dengan suplay doktrin yang destruktif. *) Mahasiswa Fakultas Fisip Universitas Negeri Malang