Kampanye Sandiaga: Absurd atau Begitukah Politikus Seharusnya?
Di bukunya yang termasyhur, 1984, George Orwell pernah menulis bahwa bahasa politikus digunakan untuk “mempertahankan apa yang tidak dapat dipertahankan.” Dalam derajat tertentu, itulah yang secara tidak langsung dilakukan Sandiaga Uno ketika mengatakan “sepiring makan siang di Jakarta lebih mahal dari Singapura.”
Tidak terlalu sulit mengecek kebenaran ucapan calon wakil presiden pasangan Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden 2019 tersebut. Anda dapat membuka, misalnya, situsweb Expatistan yang memiliki fitur untuk membandingkan besaran biaya hidup di berbagai negara.
Ketika dicek perbandingan biaya hidup antara Singapura dan Jakarta di Expatistan tadi, jawabannya: biaya hidup di Singapura 130 persen lebih mahal dibanding Jakarta.
Angka 130 persen tadi dirincikan sebagai berikut: biaya makanan lebih tinggi 54 persen; biaya tempat tinggal lebih tinggi 152 persen; biaya kebutuhan pakaian lebih tinggi 74 persen; biaya transportasi lebih tinggi 192 persen; biaya perawatan diri lebih tinggi 166 persen; biaya hiburan lebih tinggi 122 persen.
Biaya rata-rata makan siang dengan porsi standar di wilayah perkantoran di Singapura berada di angka SGD 12 atau sekitar Rp134.000, sedangkan di Jakarta sebesar Rp87.000. Sementara untuk perbandingan biaya makan di resto cepat saji macam McDonald’s (dengan menu Big Mac Meal), di Singapura dengan harga reguler sebesar SGD 7,55 atau sekitar Rp80 ribu. Di Jakarta, paket itu bisa didapat dengan harga sekitar Rp50 ribu.
Dalam hal mengatakan sesuatu yang seolah-olah meyakinkan, politikus memang ahlinya. Kerap kali komentar mereka, jika diuji lebih seksama, jauh dari kebenaran. Mengenai hal ini, Orwell lagi-lagi punya kutipan menarik dari salah satu esainya yang berjudul “Politics and the English Language”:
“Bahasa politik—dan dengan berbagai variannya dari seluruh partai politik, dari Konservatif hingga Anarkis—dirancang untuk membuat kebohongan jadi tampak seperti kebenaran dan pembunuhan terlihat terhormat, serta seolah-olah dapat menunjukkan bagaimana wujud angin.”
Retorika Politikus
Sebagai sebuah bentuk komunikasi, ucapan Sandi di atas dapat dianggap sebagai retorika. Sialnya, bukan termasuk sebagai jenis retorika yang baik. Untuk menjadi politikus yang mantap, penguasaan retorika semestinya sudah menjadi urusan sederhana.
Dalam bab “The Range of Rhetoric” yang terdapat di buku Modern Rhetorical Criticism, ada empat aspek yang wajib dipenuhi dalam suatu retorika.
Pertama, scientifically demonstrable: sebuah ujaran mestinya berbasis fakta dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Kedua, artistically creative: berasosiasi dengan seni pengucapan retorika. Ketiga, philosophically reasonable: memperhatikan fondasi moral, etika, dan sopan santun. Keempat, socially concerned: suatu retorika sekiranya dapat bermanfaat memecahkan kemaslahatan bersama.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa ucapan Sandi gagal memenuhi, setidaknya, aspek pertama. Secara ilmiah, ia jelas tak berbasis fakta. Dalam aspek sosial atau filosofis, ucapan tersebut juga tidak ada nilainya. Barangkali hanya dalam segi artistik, atau saat ucapan itu dilihat sekadar sebagai seni berbicara, ia agak bisa dibela. Ucapan itu, setidaknya, kini banyak dibicarakan di mana-mana, termasuk dalam tulisan ini.
Sandi bukan satu-satunya politikus yang bersikap demikian. Politikus kerap ditempeli stereotip macam itu: gemar membicarakan hal yang substansinya kosong belaka. Mengutip Mary Beard dari BBC Newsnight: “Ketika kita mendengarkan politikus, kita sering mengeluh bahwa kata-kata mereka tidak berarti apa-apa. Ya, karena mereka memang tidak menjelaskan apa pun.”
Karakter Politikus
Dalam konteks perpolitikan AS, tim dari Politico yang digawangi David Mark dan Chuck Mccutcheon, menemukan ada lima karakter umum dari para pejabat di Washington ketika melakukan riset untuk buku terbaru mereka yang dirangkum dalam tulisan: “How to Talk Like a Politician”.
Kelima karakter itu yakni: bermuka dua, berusaha tidak menuduh politikus lain telah “berbohong”, acap pamer optimisme dan keberanian berlebih, gemar mengucapkan kata “sejujurnya”, dan seringkali tindakan mereka kelewat klise.
Untuk poin bermuka dua—Politico menggunakan frasa “the polite knife in the back”—adalah watak umum para politikus yang telah jamak diketahui siapa saja di manapun. Richard Frost, mantan petinggi senior Partai Demokrat periode 1979-2005 yang ditemui Politico, memberi contoh mengenai hal ini berdasarkan pengalamannya.
Dalam suatu perdebatan, kenang Frost, seorang anggota DPR pernah memuji lawannya dengan mengatakan: “Saya menaruh hormat tinggi kepada tuan itu.” Bagi Frost, kalimat tersebut sesungguhnya berarti: “Anda itu sangat idiot.”
Di Indonesia, watak bermuka dua politikus kerap kali tidak tampak lewat kata-kata, melainkan dari cara memindahkan dukungan ke kubu lawan dengan alasan yang pragmatis. Sikap tersebut sebetulnya sama sekali tidak ada salah, namun adalah sesuatu yang lumrah pula jika publik kemudian memberi label buruk terkait tindakan mereka.
Para politikus di Amerika juga punya “hukum” tak tertulis yang disepakati bersama: tidak menuduh politikus lain telah berbohong. Jika pun harus menuduh, mereka cenderung memilih kata “disingenuous” (tidak jujur) kepada lawan politiknya.
Seperti yang pernah dikatakan James Inhofe, senator sayap kanan Republikan di wilayah dapil Oklahoma, tatkala mengomentari kunjungan Barack Obama ke wilayahnya pada 2012. “Saya menyambut kedatangan presiden Obama ke wilayah saya, tapi dalam beberapa ucapannya ia telah bersikap tidak jujur,” ucap Inhofe.
Sementara contoh tuduhan berbohong yang lebih telak pernah dilontarkan Joe Wilson, anggota DPR dapil South Carolina dari Partai Republikan, juga kepada Obama ketika ia tengah berpidato mengenai isu jaminan kesehatan tahun 2009. (Dengarkan menit 1:22 di video ini. Wilson berteriak keras-keras: “You lie!”)
Salah satu tabiat lain para politikus yang umum diketahui adalah mereka jarang memberikan jawaban yang konkret. Zoe Williams sempat menjelaskan hal tersebut dalam ulasannya di Guardian: “Never Give a Straight Answer: How I Learned to Talk Like a Politician”.
Menurut Williams—ia juga merujuk kepada riset Peter Bull dari Departemen Psikologi Univesity of York, Inggris, mengenai sikap Theresa May saat diwawancara—bahwa jawaban konkret dapat membatasi politikus untuk bermanuver di masa depan. Maka dari itu, mereka pun memilih memberikan jawaban abu-abu selayaknya teka teki dan membiarkan publik menerka-nerka apa maksudnya.
Williams mengecam sikap ini. Ia menulis dengan sengit: “Mereka bahkan tidak melakukan apa-apa seperti, katakanlah, sengaja berbohong demi menjauhkan diri mereka dari masalah. Apa yang mereka bicarakan tidak ada maknanya sama sekali. Ini memalukan, seperti telanjang di depan umum tapi yang Anda lakukan justru mengalihkan perhatian orang di tempat lain.”
Brett O’Donnell, konsultan politik yang biasa bekerja sama dengan Partai Republikan—ia pernah mendampingi George W. Bush, John McCain, hingga Mitt Romney—memiliki istilah tersendiri untuk menyebut sikap politikus yang menghindari jawaban konkret tersebut: “The Pivot”.
“Pivot adalah teknik (politikus) mengalihkan pertanyaan spesifik dengan menjawabnya melalui cara mereka sendiri. Mereka sering menggunakan cara itu, lebih dari 60-70 persen sepanjang waktu,” demikian jelas O’Donnell, seperti dikutip Alex Spiegel dalam tulisannya: “How Politicians Get Away With Dodging The Question”.
sumber: tirto.id