Kemarahan Indonesia atas Kedatangan Benny Wenda pada Forum PIF
Oleh : Andika Ramadhani )*
Tokoh separatis Papua Benny Wenda diundang sebagai salah satu peserta dalam Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu, 13 – 16 Agustus 2019. Hal tersebut telah mendapatkan protes dari Kementerian Luar Negeri atas keikutsertaan Benny.
Protes tersebut tentu bukan tanpa alasan, karena sekretariat PIF dinilai tidak netral dalam isu Papua dan bersikap tidak sepatutnya sebagai sekretariat yang menyelenggarakan Pasific Island Forum.
Pemerintah Indonesia pun sudah menegaskan untuk tidak membuka ruang dialog dengan Benny Wenda. Pasalnya, Benny Wenda telah menunjukkan itikad tidak baik untuk benar – benar berpisah dengan NKRI.
Menurut laporan media The Guardian, dalam perhelatan PIF di Tuvalu, Benny yang kini bermukim di Inggris akan menggalang dukungan negara – negara Pasifik bagi kemerdekaan tanah airnya, Papua. Benny sebagai tokoh Papua Merdeka selalu mengundang perhatian pemerintah Indonesia, seperti penghargaan dari pemerintah kota Oxford yang diberikan kepada Benny pada Juli lalu.
The Guardian juga memberitakan bahwa Benny akan berkampanye bagi lahirnya resolusi Majelis Umum PBB untuk meninjau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang memasukkan Papua ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Portal tersebut juga memberitakan bahwa Jakarta tidak senang jika Isu Papua dimasukkan dalam agenda resmi pertemuan PIF. Karena langkah tersebut akan menjadi preseden bagi adanya campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Secara media, berita tersebut telah mendapatkan 1200 reaksi, 125 komentar dan sebanyak 396 warganet membagikan kembali berita tersebut. Audiens yang terpapar oleh pemberitaan tersebut adalah Australia 86 %, UK 4%, OAP 4%, US 4% dan PNG 2%.
Isu kemerdekaan Papua dikabarkan akan dibahas secara resmi dalam Forum Kepulauan Pasifik minggu ini. Benny Wenda akan menggunakan PIF di Tuvalu untuk mendorong voting PBB terkait kontrol Jakarta terhadap provinsi paling timur Indonesia tersebut.
Hal tersebut tentu mengundang kecaman dari Indonesia karena dinilai melanggar kedaulatan Indonesia dan memberikan contoh negatif karena mencampuri masalah dalam negeri negara lain.
Benny Wenda diketahui telah melarikan diri dari Papua, namun kini dirinya adalah perwakilan resmi dalam delegasi pemerintah Vanuatu. Benny mengatakan kepada The Guardian, bahwa pelanggaran HAM dan pendindasan rakyat sipil yang terjadi saat ini di Papua adalah Kanker di dalam jantung rakyat pasifik.
Perdana menteri Tuvalu, Enele Sopoaga dan Sekretaris Jenderal PIF Meg Taylor mengatakan bahwa pihaknya tidak tahu – menahu dengan apa yang terjadi pada delegasi Papua tersebut. Bulan lalu, dalam pertemuan tingkat Menlu negara Pasifik, Vanuatu berhasil memasukkan Isu Papua secara resmi sebagai agenda Forum Kepulauan Pasifik.
Masalahnya sepertinya berada pada isu administratif di pihak pemerintah Vanuatu, yang mana delegasi Papua akan menjadi bagian dari delegasinya.
Dalam pertemuan para menteri luar negeri wilayah yang diselanggarakan bulan lau, Vanuatu telah sukses mendorong masalah Papua Barat agar secara formal dimasukkan ke dalam agenda PIF, melawan penolakan tegas dari Australia.
Sementara itu Australia sendiri telah mengajukan protes keras atas langkah tersebut. Kebijakan Luar Negeri Australia sendiri sangat mendukung kedaulatan RI atas Papua, sementara negara Pasifik khususnya Vanuatu dan Kepulauan Solomon mendukung kemerdekaan Papua. Seorang juru Bicara Deplu Australia menyatakan, negara ini mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua sebagaimana yang dunyatakan dalam perjanjian lombok pada tahun 2006 silam.
Australia secara rutin mengangkat kekhawatiran HAM dengan pemerintah Indonesia, termasuk sehubungan dengan provinsi Papua.
Indonesia sendiri tidak menjadi anggota PIF yang akan diselenggarakan di Funafuti, Tuvalu tersebut. Status Indonesia sampai saat ini adalah mitra dialog bagi PIF. Isu Papua yang dibawa ke forum kawasan lain pun membuat pemerintah Indonesia menyampaikan rasa geramnya. Ini karena bagi Jakarta, Papua merupakan bagian dari Indonesia.
Apalagi jika kita mengetahui fakta pada pemilu 2019 lalu, dimana angka kepesertaan dari Papua dan Papua Barat adalah 88 persen, 94 persen suara menyetujui administrasi Presiden Jokowi. Keikusertaan yang tinggi ini tentu menunjukkan pengakuan aspirasi politik yang kuat dari rakyat Papua dan kepercayaan mereka terhadap proses demokrasi Indonesia.
)* Penulis adalah pengamat hubungan internasional