Ketua KPK Periode 2015-2019 Harus Angkat Koper
Oleh : Edi Kurniadi )*
Sikap Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo, yang menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo patut disesalkan. Selain membuktikan yang bersangkutan mentalnya yang gampang menyerah, Agus Rahardjo dinilai tidak kompeten mengampu jabatannya. Alangkah bijaknya kalau Agus Rahardjo angkat koper meninggalkan KPK
Lembaga antirasuah berjuluk KPK ini tampaknya memiliki pamor yang begitu mencekam. Badan pemberantasan korupsi di Indonesia ini dinilai sebagai badan yang ditakuti oleh para tikus berdasi. Bukan tanpa alasan, mengingat fungsi serta kewenangan didalamnya hanya fokus di dalam masalah Korupsi. Namun, ironi lain menghampiri, pasalnya lembaga antirasuah ini dinilai cukup gila dalam mengatur pegawai beserta jajarannya. KPK yang hanya mengandalkan pengawasan dari publik ini ditengarai membayar upah dan gaji pegawainya sesuai aturan mereka sendiri. Hal ini layaknya rumah yang sedang kecolongan, pengawasan publik yang notabene tak mampu menyampaikan aspirasinya, bisa apa?
Faktanya ,dana yang mereka enyam bernama gaji itu didapat dari anggaran berupa APBN. Bayangkan saja, dengan nominal gaji lebih besar dan ditentukan, namun tak disertai kinerja yang bagus, pejabat KPK makan uang siapa? Indikasinya ialah kurang optimalnya kinerja KPK ini akan menimbulkan efek pilih kasih serta tidak adil, bukan?
Berbicara mengenai kinerja, pada masa kepemimpinan Agus Rahardjo, apa hasil yang ditorehkan? Hasil yang dicapai-pun malah memprihatinkan. Bagaimana tidak, indeks korupsi hanya naik satu poin saja. Dan logisnya ini bukan kinerja KPK yang sesungguhnya. Mengingat KPK akan mampu memberikan kenaikan lima hingga enam poin dalam satu periode masa kerjanya. Mirisnya lagi, Indonesia hanya maju Selangkah dari angka 90 ke 89 pada indeks dunia.
Hal ini bisa disimpulkan, jika kinerja KPK benar maka Indonesia akan mampu melampaui hingga puluhan negara dalam kurun empat tahun. Lebih prihatin lagi bahwa hasil pemeriksaan Semester atau IHPS I BPK, lembaga antirasuah ini memperoleh predikat wajar, dengan pengecualian (WDP). Hal ini dikarenakan oleh mekanisme pengelolaan barang rampasan belum ditetapkan secara resmi.
Ditengarai pencatatan persediaan belum dilengkapi oleh dokumen pendukung yang belum akseptabel. Sehingga barang rampasan yang telah diputuskan oleh pengadilan serta memiliki kekuatan hukum tetap belum mengalami pencatatan. Pun nilainya belum diketahui pasti serta persediaannya terhapus. Sebagai informasi, opini WDP ini merupakan yang kedua kalinya, serta didapat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Bahkan, KPK pun mendapatkan opini serupa.
Dari sini dapat dilihat bagaimana kondisi kepemimpinan Agus Rahardjo. Banyak cara serta praktik tak biasa guna menutupi berbagai kekurangan paket pimpinan KPK ini. Hal ini tercermin dari insiden lempar tanggung jawab dari 3 petinggi KPK. Yakni, Agus Rahardjo selaku ketua KPK, serta dua komisioner KPK yang fenomenal, Saut Situmorang beserta Laode Muhammad Syarif. Anehnya lagi, tanggung jawab pengelolaannya diserahkan kepada Presiden Jokowi. Serta menggunakan isu jika KPK tengah diujung tanduk. Indikasi lain ialah Agus mengetahui jika langkah yang diambilnya sebagai antisipasi jika KPK bakal keok melalui revisi UU KPK.
Hal ini terlalu ironi, mengingat seorang pimpinan KPK yang dulunya melalui uji kelayakan, akhirnya merasa tidak mampu mengatasi polemik yang menimpa badan yang menaunginya. Indikasi jika Agus Rahardjo menemui kegagalan dalam memimpin kehormatan lembaga yang dipimpin, pertama kali terbaca oleh Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar. Ialah orang pertama yang secara jelas menyatakan kejanggalan tersebut.
Pendapat lain datang dari mantan petinggi KPK, Antasari Azhar yang menegaskan jika sikap ketua KPK ini dinilai tidak dewasa. Ia juga menyayangkan hal tersebut, mengingat PR presiden juga sangat banyak. Kalangan akademis turut berkomentar, yakni Fahri Bachmi selaku Pakar Hukum Tata Negara. Menyatakan jika penyerahan mandat KPK kepada kepala negara dinilai melanggar sistem hukum ketatanegaraan serta konstitusi.
Beda lagi dengan ICW, Indonesia Corruption Watch yang terkesan mendukung kebijakan Agus. ICW menganggap jika penyerahan mandat ini sebagai luapan rasa kekecewaan akan kinerja para pimpinannya. ICW menilai negara telah mengabaikan KPK lewat rencana Revisi UU serta pemilihan calon pimpinan calon bermasalah. Dugaan pelemahan yang diutarakan ICW ini sudah bukan oleh oknum namun, negara. Baik dari pihak DPR yang berkolaborasi ingin melemahkan lembaga antirasuah ini.
Lebih lanjut, apakah Agus Rahardjo selaku pimpinan KPK ini tidak mengerti akan UU KPK yang berkaitan dengan berakhirnya masa jabatan. Merujuk pada pasal 32 UU KPK disebutkan bahwa, seorang pimpinan KPK akan berhenti masa jabatannya apabila terdapat hal-hal yang mempengaruhi. Antara lain, akibat meninggal dunia, menjadi terdakwa karena tindak kejahatan, berhalangan atau tidak dapat melaksanakan tugasnya hingga 3 bulan terus menerus. Termasuk Mengundurkan diri maupun dikenai sanksi berdasarkan atas Undang-Undang ini.
Terlepas dari seluruh carut marut yang ada, hendaknya Agus Rahardjo mampu bersikap kompeten dalam mengampu jabatannya. Jika ia telah mengambil keputusan seperti yang dijabarkan diatas, wajar saja jika nantinya Sang Pemimpin KPK siap menerima Kartu merah.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik