Khilafah di Indonesia, Mungkinkah?
Oleh: Linggar Rama Dian Putra )*
Diakui atau tidak, sejarah menunjukkan bangsa ini pernah memiliki impian untuk menjadi sebuah negara Islam. Piagam Jakarta yang dirumuskan dalam sidang BPUPKI 72 tahun silam menjadi saksi sejarah dari upaya penegakan pendirian satu negara yang menjunjung syariat Islam. Namun para pendiri negeri ini telah berhasil menyatukan berbagai kepentingan termasuk bagi faksi Islam yang ditandai dengan lahirnya Pancasila sebagai satu jalan tengah yang tidak hanya mengakomodasi kepentingan non-Islam tetapi juga memberikan satu ruang yang sangat besar bagi para pemeluk Islam untuk senantiasa melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan haknya dalam bernegara. Sehingga Pancasila menjadi satu konsensus di mana negara menjadi payung yang dengan semangat persatuan dan kesatuan di bawah panji Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bertujuan untuk memberikan kesejahteraan, ketentraman, dan keamanan bagi semua pemeluk agama yang ada di republik ini.
Meski telah final dan telah mejadi marwah dalam berkehidupan dan berkebangsaan di Indonesia, namun bukan berarti Pancasila jauh dari rong-rongan. Reformasi politik 1998 yang memberikan kebebasan dalam berkumpul dan berpendapat justru dimanfaatkan oleh mereka yang hendak menghadirkan kembali fantasi dan mimpi akan negara Islam. Melalui gerakan dakwah, ide-ide negara Islam diwacanakan dan disebarluaskan. Lebih dari itu, organisasi massa yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam pun muncul di tengah-tengah masyarakat. Tak sedikit dari saudara kita sebangsa dan setanah air terseret dalam gerakan tersebut untuk satu cita-cita mereka yakni berdirinya negara Islam Indonesia.
Polarisasi Gerakan
Dilihat dari perkembangannya, gerakan untuk mendirikan negara Islam dewasa ini semakin terpolarisasi. Di satu sisi, perkembangan tingkat pendidikan, ekonomi, dan teknologi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap polarisasi gerakan ini. Di sisi lain, di era informasi dan keterbukaan ini masyarakat kerap kali disuguhkan dengan gambaran belum stabilnya demokrasi yang dikembangkan di negeri ini. Masalah penegakan hukum, etika politik, dan korupsi yang membelit penyelenggara negara menjadi titik balik yang dapat mengubah kepercayaan masyarakat pada penyelenggara negara dan bahkan terhadap negara sekalipun. Di tengah kondisi inilah proliferasi gerakan untuk mendirikan negara Islam berkembang menciptakan polarisasi gerakan yang mungkin tak pernah diduga sebelumnya.
Perubahan kultur politik sejak reformasi 1998 mengubah pola gerakan negara Islam. Di masa Orde Baru gerakan negara Islam relatif menjadi gerakan bawah tanah yang bergerak secara tersembunyi. Namun pasca reformasi politik 1998 mereka berani secara terang-terangan mengembangkan wacana pendirian negara Islam. Bahkan pada titik yang paling dahsyat, mereka berani menyuarakan anti terhadap Pancasila karena dianggap berlawanan dengan dalil-dalil teologis yang mereka yakini. Yang mungkin lebih mencengangkan, justru kalangan intelektual lah yang justru rentan menjadi sasaran bagi perekrutan kader-kader organisasi negara Islam. Lembaga pendidikan tinggi menjadi kawah candradimuka bagi terjaring dan terbinanya kader-kader yang menjadi penggerak organisasi negara Islam. Di kalangan intelektual tersebut mereka mengembangkan episteme-epistem yang dalam hemat saya justru mendistorsi Pancasila dan NKRI. Dengan hanya melihat dari satu sudut pandang, mereka membangun argumen untuk menunjukkan bahwa Pancasila adalah sesat dan NKRI adalah contoh kegagalan sebuah negara.
Setelah sekian lama menata basis kader mereka di kalangan mahasiswa dan kaum intelektual di lembaga pendidikan tinggi, kini mereka mulai memanen hasilnya. Organisasi gerakan Islam telah melahirkan banyak figur yang tersebar di berbagai wilayah dan sektor. Jika dulu mereka hanya terfokus di kampus-kampus yang berada di kota besar, kini para alumnus perguruan tinggi tersebut telah tersebar di penjuru Indonesia dan berada di berbagai instansi maupun sektor informal. Jika gerakan ini dulunya adalah gerakan intelektual, kini meraka telah menjadi gerakan kultural. Kader-kader yang kini telah kembali ke masyarakat berperan menjadi agen penting untuk menanamkan gagasan negara Islam ke dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Yang mungkin tidak disadari sebelumnya adalah justru kini kader mereka banyak menduduki instansi-instansi pemerintah. Tak sedikit dari lembaga pemerintahan ini dimasuki oleh kader penggerak ide negara Islam, baik di pusat maupun di daerah. Mereka membawa serta gagasan tentang sistem tata pemerintahan yang berdasar pada syariat Islam di bawah panji negara Islam. Dengan berbagai argumen, mereka menunjukkan berbagai kondisi ideal yang menjanjikan satu tatanan hidup yang lebih baik jika Indonesia menganut sistem negara Islam. Sehingga ini menjadi alarm tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi semua kalangan masyarakat Indonesia bahwa bahaya akan gerakan negara Islam itu nyata di sekitar kita.
Janji utopis negara Islam
Gerakan negara Islam yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi massa di Indonesia bermuara pada satu hal yakni sistem tata pemerintahan ke-khalifah-an yang berbasis pada syariat Islam. Fantasi akan kejayaan peradaban dan politik Islam di masa lalu dihadirkan untuk mempersuasikan betapa idealnya sistem dan tatanan pemerintahan Islam sebagaimana yang telah tercatat dalam sejarah peradaban manusia. Dalam fantasi itu, para penggerakan perjuangan negara Islam menunjukkan berbagai janji-janji manis di tengah situasi krisis negeri ini yang masih dalam tahap membangun satu sistem yang dapat mengayomi berbagai perbedaan. Bukan tujuan penulis di sini untuk menjabarkan apa saja yang mereka janjikan terhadap adanya satu sistem pemerintahan berbasis Islam. Namun di sini penulis hanya ingin menunjukkan adanya kontradiksi dari argumen-argumen yang dibangun dengan situasi dan kondisi terkini masyarakat kita. Kontradiksi ini sekaligus menunjukkan bahwa justru fantasi negara Islam yang menjanjikan berbagai hal itu gugur dan menjadi ide yang tidak feasible untuk diterapkan di Indonesia.
Pertama, Pancasila sebagai dasar negara, working ideology dan working value adalah satu rumusan tentang konsep ber-Islam dan bernegera. Para penggerak fantasi negara Islam abai terhadap fakta tersebut. Alih-alih, mereka hanya melihat Pancasila hanya dari satu sudut pandang yakni Pancasila tidak lahir di jazirah Islam. Sehingga faktor geo-sosial ini menjadi salah satu landasan ketidaksukaan para penggerak ide negara Islam akan Pancasila. Jika kita telaah lebih jauh sebenarnya Pancasila itu adalah rumusan syariat Islam yang paling mendasar yang menyangkut hubungan antara sesama manusia yang dasarnya ada dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Esensi dari lima sila dalam Pancasila adalah untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusian sebagai bagian dari ke-hamba-an kita pada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana juga yang dijelaskan dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup ummat muslim di seluruh dunia hingga akhir zaman. Semangat berkeadilan, bermusyawarah, bersatu, dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan keberadaban adalah apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai bentuk keyakinan kita pada Allah SWT, Tuhan Yang Esa. Sehingga Pancasila itu harus juga dilihat tidak hanya sebagai tujuan kita dalam bernegara tetapi juga tujuan kita untuk bersyariat.
Kedua, Indonesia dengan Pancasila ternyata jauh lebih akomodatif terhadap pelaksanaan keyakinan bagi ummat Islam itu sendiri. Dengan menganut prinsip bahwa keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah hak dasar setiap manusia, Indonesia melalui Pancasila negara menjamin terselenggaranya berbagai ekspresi keyakinan kita sebagai ummat Islam. Ekspresi-ekspresi seperti pengajian, majelis ta’lim, dan perayaan hari besar Islam apapun bentuknya diberikan ruang yang sangat luas sejauh tidak merugikan satu sama lain. Hal ini tentu berbeda di negara-negara yang berdasarkan Islam. Kontrol negara terhadap ekspresi ke-Islam-an justru membatasi banyak hal bagi ummat Islam dalam mengekspresikan keyakinan dan ke-Islam-an mereka. Di Saudi Arabia misalnya, baru akhir-akhir ini saja mereka dapat melaksanakan dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai hari kelahiran Rasulullah. Di Indonesia, ekspresi ini sangat dilindungi dan dijamin pelaksanaannya oleh negara.
Ketiga, fantasi negara Islam juga abai akan fakta bahwa negara Islam yang saat ini ada adalah juga hasil dari ijtihad terhadap adanya perubahan sosial yang terjadi di seluruh dunia. Jika kita lihat lebih dalam, maka tidak ada negara Islam yang tunggal di dunia ini. Sebagai contoh, di Timur Tengah di mana mayoritas negaranya adalah negara Islam, mereka menganut sistem negara Islam yang beragam juga. Apakah Saudi Arabia menerapkan sistem negara Islam yang sama dengan Uni Emirat Arab atau Yordania? Tentu sangat berbeda sekali. Jadi akan sangat sulit bagi kita untuk membayangkan negara Islam ini negara Islam yang bagaimana sedangkan pelaku negara Islam sendiri juga berbeda-beda. Negara Islam mana yang dapat dijadikan sebagai rujukan bagi penyelenggaraan negara bardasarkan asas Islam? Saudi Arabia kah? Yordania kah? Uni Emirat Arab kah? Tentu mereka memiliki sistem mereka sendiri yang berbeda satu sama lain. Apakah mereka terbebas dari persoalan dan masalah? Tentu tidak. Negara-negara ini memiliki masalah mereka sendiri yang tidak dapat digeneralisasi satu sama lain. Fantasi akan adanya sistem negara Islam yang mampu menyatukan negara Islam dalam satu rumpun ini pun gugur karena sejarah menunjukkan bahwa Timur-Tengah sebagai repreesentasi negara Islam sendiri tidak pernah berada di jalur yang sama dan justru mereka terlibat persoalan satu sama lain. Contohnya sederhana. Coba kita tengok sikap negara Timur-Tengah terhadap Israel dan Palestina. Tentu jawabannya beragam. Sehingga janji negara Islam dengan berbagai narasi dan cerita itu sulit untuk diwujudkan.
Kembali ke Pancasila
Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat ini, hampir semua bangsa dan negara menghadapi masalah yang sama, yaitu kiris nilai. Persoalan ini tidak hanya melanda negara berkembang saja tetapi juga menjadi endemik bagi negara-negara maju yang mungkin secara ekonomi jauh lebih mapan. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang tingkat ekonominya stabil justru krisis humanisme dan nilai jauh lebih parah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya angka bunuh diri di negara-negara maju yang cenderung tinggi. Pun demikian di negara-negara Islam, terutama di Timur Tengah, yang tak henti-hentinya dilanda konflik horizontal dan vertikal akibat dari persoalan politik yang tak kunjung selesai. Indonesia sebagai negara berkembang juga tak luput dari berbagai persoalan baik di bidang hukum, politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Di tengah krisis nilai ini salah satu solusi yang bisa diambil dalam rangka meminimalisir dampak dari krisis nilai tersebut adalah kembali pada karakter bangsa. Mengganti sebuah sistem dan tata sosial pemerintahan bukanlah jalan yang tepat karena justru akan menjadikan kita jauh dari jati diri kita sendiri. Indonesia yang lahir dari semangat kemanusiaan dan anti penjajahan sebenarnya telah memiliki karakter yang sangat kuat dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam hal ini Pancasila tidak hanya menjadi sistem nilai yang sangat ampuh tetapi juga menjadi karakter bangsa yang juga berfungsi menjadi sistem immune terhadap berbagai turbulensi yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kembali pada Pancasila, maka sebenarnya kita kembali pada syariat atau hukum dasar keyakinan kita pada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian keadilan, keberadaban, dan kemanusiaan dalam rangka menuju kesejahteraan yang diridoi Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dapat terwujud.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)