Koalisi Adil Makmur di Ambang Perpecahan
Oleh : Ahmad Harris )*
Pemilihan Presiden 2019 kian dekat dan hanya menyisakan waktu sekitar empat bulan bagi kedua kandidat, Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Dalam waktu yang tersisa, tentu kedua pihak akan berupaya melakukan kampanye sebaik mungkin untuk dapat meningkatkan elektabilitas masing-masing, terlebih bagi pasangan calon Presiden nomor dua, yaitu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Hal ini dilatarbelakangi tertinggalnya dukungan suara yang dimiliki oleh capres nomor 2. Menurut Lingkaran Survey Indonesia, elektabilitas Prabowo masih ketinggalan sekitar 20% dibandingkan dengan elektabilitas petahana, Presiden Joko Widodo. Ketertinggalan inilah yang akhirnya mendesak Prabowo Subianto untuk berpikir lebih keras agar dapat meningkatkan elektabilitasnya. Politik ketakutan, hoax, narasi pesimisme serta ancaman Indonesia akan punah jika ia tak terpilih, menjadi andalan dari koalisi adil makmur dalam rangka menarik perhatian masyarakat. Tak peduli dampaknya terhadap kerukunan bangsa, koalisi Prabowo terus mengeksploitasi isu sensitif guna mencari muka.
Sayangnya, cara-cara seperti itu membuat masyarakat gerah dan tak percaya kepada koalisi hoax ini. Bukan hanya di tingkatan masyarakat awam, bahkan tokoh politik senior dari partai PAN sebagai bagian dari koalisi Adil Makmur pun ikut merasa “panas” dengan kebohongan yang selalu disiarkan. Adapun tokoh politik senior tersebut ialah Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Goenawan Mohammad, Toeti Heraty, dan Zumrotin. Kelima tokoh tersebut merupakan pendiri PAN yang telah mengundurkan diri dari politik praktis sehari-hari. Pendiri PAN tersebut mengungkapkan keresahannya dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Amien Rais sebagai Ketua Dewan Kerhormatan PAN. Dalam surat tersebut, mereka menyoroti keberpihakan PAN dalam membangkitkan kejayaan orde baru. Tentu hal ini menjadi pertanyaan bagi seluruh masyarakat, bagaimana mungkin seorang tokoh yang memperjuangkan reformasi ingin mengembalikan masa orde baru. Agaknya, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Amien Rais bukanlah tokoh reformasi, melainkan tokoh oportunis. Keberpihakan Amien Rais sejak dulu bukanlah reformasi tetapi kekuasaan yang mengalir. Saat kekuasaan berada di pihak pendukung reformasi, maka ia akan ikut menyatu. Begitupun kali ini, mungkin Amien Rais berpikir bahwa Prabowo akan menang, sehingga ia menyatukan diri ke dalam golongan pembangkit orde baru.
Fenomena surat terbuka tersebut seolah dapat dianalogikan sebagai teguran orang tua terhadap anaknya yang sudah melenceng dari harapan terdahulu. Sayangnya, teguran tersebut tak diindahkan oleh elit partai PAN saat ini. Bukannya memperbaiki situasi, tanggapan elit partai PAN saat ini justru menandakan partainya sedang mengalami konflik internal yang cukup darurat. Belum lagi dengan kader-kader PAN didaerah yang juga memberikan dukungan kepada capres 01 tanpa mempedulikan hasil Rakernas PAN. Kini, bayang perpecahan di kubu PAN pun sudah dapat terlihat dengan kasat mata. Hanya menunggu waktu, partai PAN akan tenggelam jika tak ada upaya konsolidasi internal.
Perpecahan PAN secara otomatis menambah deretan fakta tentang rapuhnya koalisi Indonesia Adil Makmur. Selain perpecahan PAN, koalisi Adil Makmur juga harus berkutat pada perselisihan antara Demokrat dan Gerindra berkaitan dengan agenda pembangkitan orde baru. Wasekjen Demokrat bahkan mengatakan pihaknya setuju untuk Jokowi melanjutkan dua periode jika Prabowo ingin mengembalikan Indonesia ke jaman orde baru. Pernyataan tersebut tentu merupakan sinyal keras bahwa hubungan Demokrat dan Gerindra dalam koalisi Adil Makmur kian goyang dan tidak lagi harmonis. Tegangnya hubungan antara Demokrat dan Gerindra juga dipengaruhi dengan sindiran partai Gerindra terhadap SBY yang dinilai pasif dalam mengkampanyekan Prabowo Subianto. SBY beserta elit demokrat pun kian berang dengan pernyataan Gerindra yang merupakan koalisinya sendiri.
Berbagai intrik serta gesekan dalam koalisi Indonesia Adil Makmur semakin menegaskan kepada masyarakat bahwa koalisi tersebut tidak lagi solid dalam menjalankan Pilpres 2019. Perpecahan PAN serta gesekan Demokrat-Gerindra sudah cukup menjadi bukti kegagalan Prabowo dalam memimpin. Bahkan, hanya memimpin satu koalisi pun Prabowo tak mampu melakukannya dengan baik. Tak dapat dibayangkan bagaimana nantinya ia memimpin Indonesia, mungkin konflik antar elit pemerintah, lembaga dan kementerian akan menjadi fenomena rutin di negara Indonesia. Oleh karenanya, masyarakat harus rasional untuk memilih agar tidak menjadi korban dari pihak yang sangat haus akan kekuasaan.
)* Pemerhati Politik