Konflik SARA, Bungkus Kepentingan di Rohingya
Akhir-akhir ini, pemberitaan media nasional maupun internasional tengah menyoroti krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Rakhine, Myanmar. Dalam pemberitaannya, banyak media yang menyebutkan bahwa krisis Rohingya disebabkan oleh konflik antar agama. Dimana masyarakat etnis Rohingya merupakan umat muslim yang menjadi minoritas di Myanmar. Tapi apakah memang krisis di Rakhine karena adanya konflik agama? Atau mungkin karena adanya kepentingan lain? Namun apapun alasannya, krisis tersebut memang tidak selayaknya terjadi karena telah menelan banyak korban dari etnis Rohingya.
Berdasarkan data dari COHRE Country Report, awal mula krisis Rohingya terjadi pada tahun 2012, ketika Pemerintah Myanmar membatalkan Undang-Undang Petani yang disahkan pada 1963 (era Myanmar cenderung sosialis). Undang-Undang tersebut bertujuan untuk melindungi lahan dan penghidupan petani kecil di seluruh negeri. Selain itu, pada 30 Maret 2012, parlemen Myanmar juga menerbitkan revisi atas dua undang-undang pertanahan, yakni UU Pertanian dan UU Lahan Kosong. Keduanya mengizinkan 100 persen modal asing dengan masa sewa lahan hingga 70 tahun. Sehingga memunculkan investor nakal yang memanfaatkan perusahaan lokal untuk menanamkan modalnya di Myanmar. Sejak UU pro-investor diterbitkan pada 2012, gelombang pebisnis multinasional membanjiri Myanmar. Mereka diuntungkan sebab didukung rezim militer saat akan mengambil alih lahan para petani. Sebuah praktik yang sebenarnya telah dimulai sejak era 1990-an.
Menurut Saskia Sassen, profesor Sosiologi di Columbia University dan penulis Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy (2014), konflik yang terjadi di Rohingya merupakan upaya dari Pemerintah Myanmar melalui pasukan militer untuk melakukan alih fungsi lahan. Sassen berkaca pada data COHRE Country Report yang menunjukkan alokasi luas lahan untuk proyek pemerintah meningkat 170 persen antara 2010-2013. Tragedi Rohingya pada 2012 bukanlah kejadian insidentil tanpa ada campur tangan negara. Karena dengan mengusir Rohingya keluar dari Rakhine akan berdampak positif bagi perekonomian Myanmar. Sassen mencatat bahwa pemerintah Myanmar telah mengalokasikan 1.268.077 hektare lahan di wilayah tempat tinggal warga Rohingya di Rakhine untuk pengembangan program pembangunan tempat tinggal perusahaan. Luasnya melonjak dibanding alokasi yang disebut pemerintah pada 2012, yakni 7.000 hektare.
Bukti adanya minat investor asing ke Myanmar adalah dengan datangnya perwakilan Thailand ke Rakhine untuk melihat potensi bisnis alam di daerah Ngapali, Thanda, Kyaukpyu, Sittwe dan Mrauk U. Selain Thailand, Cina juga menjadi investor asing yang sangat haus untuk menanamkan investasinya di Myanmar. Tahun lalu, CITIC Group memenangi kontrak untuk membangun pelabuhan di Kyaukpyu, Rakhine, daerah berbatasan langsung dengan Bangladesh di utara dan Teluk Benggala di barat. Karena hubungan darat Myanmar dengan Cina melalui Kyaukpyu dapat memperpendek jarak tempuh sepanjang 5000km. Upaya mendiversifikasi rute pengiriman barang sekaligus meningkatkan pengaruh ekonomi di negara-negara tetangga adalah salah satu dorongan utama dalam inisiatif “One Belt One Road” Cina. Meski terkait misi “One Belt One Road”, pengaruh investasi Cina di Myanmar sesungguhnya telah terasa sejak 2009. Saat itu Kementerian Energi Myanmar menandatangani nota kesepahaman dengan China National Petroleum Corp. (CNPC) atas pembangunan pipa minyak yang menghubungkan Pulau Maday di Kyaukpyu dan Provinsi Yunan di Cina.
Selain minyak, Myanmar juga kaya gas alam. Menurut data yang dirilis Perusahaan Gas dan Minyak Myanmar (MOGE) dan disadur Marie Lall dalam ulasannya bertajuk “Indo-Myanmar Relations in the Era of Pipeline Diplomacy”, Myanmar punya cadangan 51 triliun kaki kubik (tfc) di ladang lepas pantai seberang Thailand dan Bangladesh temasuk wilayah laut Negara Bagian Rakhine. Menurut paparan Lall, ekstraksi dan ekspor gas alam Myanmar di kedua lepas pantai telah dilakukan sejak era 1980-an. Ekspornya dulu masih di negara-negara tetangga seperti Thailand, sebelum akhirnya dilepas lebih jauh lagi. Namun terdapat campur tangan asing seperti Daewoo dan Perusahaan Gas Korea (Kogas), perusahaan pengeboran asal Korea Selatan, dan dua lain dari India, ONGC Videsh Limited (OVL) dan Otoritas Gas India (GAIL). Perusahaan-perusahaan inilah yang menanamkan pipa-pipa penyalur gas sepanjang Rakhine.
Jadi berdasarkan data-data diatas, apakah benar krisis di Rakhine merupakan konflik SARA antar umat beragama? Atau mungkin konflik SARA hanya sebagai bungkus untuk menutupi kepentingan lain dibalik krisis yang terjadi di Rakhine, Myanmar? Pada akhirnya, ada dua fungsi dari kebijakan pengusiran orang Rohingya. Pertama, untuk mengambil alih lahan serta segala sumber daya yang terkandung di dalamnya. Agar penguasaan ini bersifat permanen, pengusiran warga Rohingya juga harus permanen. Inilah mengapa tentara Myanmar tak hanya mempersekusi warga Rohingya, tetapi juga membakar rumah dan bangunan penting milik mereka. Tak ada yang namanya tanah air jika rumah sudah rata tanah dan berganti bangunan yang merepresentasikan proyek pemerintah dan swasta. Kedua, pemerintah Myanmar tahu keadaan di lapangan juga menunjukkan bahwa korban dari perampasan lahan meliputi orang-orang Muslim, baik etnis Rohingya maupun bukan, juga umat Buddha yang jadi mayoritas di negara tersebut.
Agar perampasan lahan tidak menjadi isu utama yang berpotensi menggerakkan penduduk Rakhine dalam menyampaikan protes yang berpotensi munculnya upaya pemberontakan, maka isu tersebut dibelokkan menjadi menjadi konflik horizontal antar kelompok agama. Di banyak tempat, termasuk konflik Poso di Indonesia misalnya, framing konflik horizontal kerap dipakai untuk menjauhkan negara dan kebijakannya dari tanggung jawab meski ditengarai sebagai salah satu elemen yang memulai konflik.
Apakah kejadian yang terjadi di Rohingya berdampak dengan Indonesia? Tentu saja, dengan kejadian tersebut muncul banyak opini publik yang mengecam peristiwa Rohingya. Namun anehnya, kejadian tersebut dihubungkan dengan pemerintahan Jokowi. Isu tersebut diolah sedemikian rupa oleh kelompok tertentu sehingga dijadikan senjata untuk menyerang pemerintahan Jokowi. Salah satunya adanya opini terkait kebijakan Jokowi yang tidak mengambil langkah serius dalam penyelesaian konflik Rohingya. Opini yang dikembangkan adalah stigma kebijakan anti Islam Jokowi sehingga disebut-sebut tidak melakukan langkah nyata dalam penyelesaian konflik Rohingya. Sehingga secara tidak langsung pemerintahan Jokowi terkesan membiarkan penindasan terhadap umat Islam di Rakhine tetap berlanjut. Jelas penilaian tersebut tidak berdasar dan sarat akan kepentingan politik. Bagaimana tidak, melalui Menteri Luar Negeri, Retno Jokowi telah memerintahkan untuk melakukan berbagai cara diantaranya upaya diplomasi dengan Pemerintah setempat. Upaya tersebut-pun masih saja dipersoalkan Karena dinilai sebagai bentuk kepedulian tanpa adanya solusi penyelesaiannya.
Padahal, kunjungan diplomasi Menlu Retno ke Myanmar bertemu dengan Au San Suu Kyi mempunyai beberapa tujuan. Selain mengucapkan penyesalan atas terjadinya konflik Rohingya, Menlu Retno juga melakukan diplomasi untuk mendesak pemerintah Myanmar agar memberikan perlindungan kepada semua warga Myanmar termasuk umat Muslim serta membuka akses bantuan kemanusiaan. Untuk penanganan aspek kemanusiaan, pemerintah telah mengirim bantuan makanan dan obat-obatan serta membangun sekolah di Rakhine State dan juga segera akan membangun rumah sakit yang akan dimulai bulan Oktober yang akan datang di Rakhine State. Menlu Retno juga dijadwalkan untuk menuju Bangladesh dengan tujuan mempersiapkan bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi yang Rohingya yang berada di negeri itu.
Dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik Rohingya tersebut, masihkah pantas apabila pemerintah dianggap tidak berusaha memberikan solusi? Atau bahkan dengan hal tersebut masih pantas dianggap anti Islam? Lalu langkah apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik Rohingya? Sebagai sesama umat ciptaan Tuhan, marilah bersama-sama untuk mendoakan yang terbaik untuk Rohingya dan agar permasalahan yang terjadi dapat segera terselesaikan. Serta tidak memanfaatkan penderitaan etnis Rohingya sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompok tertentu.
Dhana