Kursi Wagub, Mau Bangun Jakarta atau Hanya Kekuasaan Politik?
Oleh: Latifa Hamid )*
Kursi wakil gubernur DKI Jakarta masih kosong pasca ditinggalkan oleh Sandiaga Uno melaju sebagai calon wakil presiden. Lebih dari 2 bulan sudah Anies Baswesdan bekerja tanpa wakil memimpin Jakarta. Namun hingga kini perdebatan siapa yang akan mendampingi Anies memimpin Jakarta. Sebagai Gubernur yang menjomblo, Anies berharap pendamping barunya adalah orang yang sevisi dengannya bukan yang maju membawa visi sendiri. Kekosongan kursi tersebut tentu menjadi perebutan dua partai pengusung yang masing-masing merasa berhak atas posisi tersebut. tapi sebenarnya hak milik siapa kursi nomor 2 DKI sekarang?
Mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta itu diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Bunyinya “Dalam hal wakil gubernur DKI Jakarta berhenti karena permintaan sendiri, pengisian wakil gubernur DKI Jakarta dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.”
Setelah Sandiaga Uno resmi meninggalkan kursi wagub DKI dipersunting Prabowo sebagai calon wakil presiden, posisinya jadi rebutan Gerindra dan PKS. Pasalnya kedua partai itu adalah pengusung Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta 2017 tapi PKS sangat berambisi untuk kedudukan wagub pengganti di DKI. Hal ini karena secara tidak langsung bursa capres dan cawapres koalisi ini dikuasai oleh gerindra, karena PKS telah merelakan posisi cawapres bukan dari kadernya melainkan untuk Sandi dari jalur independen tapi juga mantan kader Gerindra. Ambisi ini ditambah lagi karena Anies adalah nonpartisan atau independen.
Melihat fenomena ini, kemudian menjadi ragu apakah calon pendamping baru Anies akan sevisi dengan Anies atau hanya karena kompromi politik dan membawa kepentingan partai?
Saat ini kedua partai tersebut tengah menggodok nama calon wagub baru, tapi besar kemungkinan kader PKS lah yang akan maju sebagai wagub pengganti. Karena sudah lumrah setiap partai ingin kadernya berkuasa. Apalagi Wakil Sekretaris Jenderal PKS Abdul Hakim bahkan telah menyodorkan surat yang mencantumkan nama Mardani Ali Sera dan Nurman Lubis untuk diusulkan mengisi jabatan itu.
Posisi wagub berarti juga memimpin rakyat Jakarta dan bekerja untuk kepentingan membangun Jakarta kearah lebih baik. Namun kini dengan kondisi PKS yang sangat berambisi dan gerindra yang telah memberikan kompromi kekuasaan politik proyeksi Jakarta menuju arah lebih baik semakin surut. Sebagai gubernur yang akan berpasangan baru, Anies tentu memiliki krieteria sendiri untuk calonnya. Kriteria calon wagub menurut Anies adalah orang yang mau kerja keras, harus kerja tuntas, dan siap untuk all-out tidak memikirkan lain-lain.
Menjadi penting untuk melibatkan Anies dalam penentuan nama cawagub baru yang akan di ajukan ke DPRD Provinsi Jakarta. Karena jika nama yang keluar dari tim penggodok adalah kader PKS keseluruhan maka Jakarta akan dipandang hanya sebagai sekadar arena perebutan ladang kekuasaan politik. Apalagi PKS telah mengancam jika kader PKS tidak menjadi wagub DKI maka dukungan bagi paslon nomor urut 2 pada pemilu dari PKS akan mati. Hal ini sungguh menunjukkan haus kekuasaan dari PKS.
Sebenarnya terdapat beberapa nama berpotensi, salah satu contoh dari kubu Gerindra yang juga wakil ketua DPRD Provinsi Jakarta, M. Taufik, yang berpotensi menjadi cawagub pengganti. Sosok ini terlihat lebih berpengalaman karena telah berkelut di Jakarta sejak lama. Namun kembali lagi dengan kompromi politik dan kehausan kekuasaan PKS, sosok ini dan sosok lainnya akan tersingkirkan dari bursa cawagub pengganti.
Jika kader PKS yang benar menjadi wagub DKI nantinya maka kinerja optimal dan perubahan signifikan untuk Jakarta lebih baik pasti tidak akan terasa oleh masyarakat. Mengapa demikian? Karena sudah jelas “Dia” yang mewakili PKS tersebut akan mementingkan kepentingan partainya. Bukan kerja seperti kriteria Anies dan harapan rakyat Jakarta.
*Penulis dan Pemerhati Politik Jakarta