Kyai Ma’ruf, Sang Penjaga Islam Nusantara
Penulis: Angga Budi Pratama*
KH Ma’ruf Amin banyak dikenal oleh kalangan masyarakat sebagai ulama kharismatik. Ulama yang taat, toleran, dan saat menjadi ketua MUI memberikan kebijakan yang baik untuk umat. Beliau juga sebagai akademisi dalam bidang ekonomi syariah. Pemikirannya diterapkan dalam tubuh NU maupun umat islam secara keseluruhan. Hal tersebut dibuktikan dengan pemikiran KH Ma’ruf Amin mengenai tiga pilar atau rukun penting dalam Islam Nusantara. Yaitu pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).
Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika “al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi“, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama.
Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.
Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja menekankan bahwa segala hal yang dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan ‘urf atau adat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para ulama kepada kita semua. Amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat.
Tidak diragukan lagi, pemikiran KH Ma’ruf Amin untuk memajukan Indonesia dengan mengedepankan aspek religius patut diberi apresiasi tinggi. Kiai Ma’ruf adalah ulama yang mengakui keberagam dan kebhinnekaan, mengutamakan kerukunan umat, dan merupakan sosok ulama intelektual yang bertekad membawa Indonesia maju, lepas dari konflik ideologis masalah kebangsaan. Sebab baginya, antara Islam dan Indonesia adalah dua entitas yang saling menggenapi. KH Ma`ruf Amin adalah ulama yang menopang kemajemukan di Indonesia. Beliau lah orang yang menjaga pandangan Islam inklusif, pandangan Islam moderat, pandangan Islam kebangsaan, dan pandangan Islam nusantara.
*) Mahasiswa ITS