Manusia Pesimistis Tak Pantas Jadi Pemimpin Indonesia
Penulis: Adnan Lestaluhu*
Dua gaya kampanye yang bertolak belakang selama ini ditampilkan dua pasang calon presiden dan wakil presiden. Jokowi-Ma’ruf Amin yang kerap melontarkan narasi optimisme berhadapan dengan narasi pesimisme dari Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Prabowo-Sandi lekat dengan politik pesimisme lantaran sejumlah pernyataannya yang memicu kehebohan selama masa kampanye. Pernyataan seperti ‘Tampang Boyolali’, ‘Indonesia bubar 2030’, ‘Indonesia punah’, hingga yang terbaru soal ‘Indonesia selevel dengan Rwanda dan Haiti’, dinilai hanya menawarkan kecemasan.
Berbeda dengan kubu Prabowo, pasangan Jokowi-Ma’ruf menawarkan politik optimisme. Kubu Jokowi-Ma’ruf juga selalu meluruskan pesimisme-pesimisme yang dikeluarkan oleh kubu Prabowo. Isu bernada pesimistis menjadi bumerang tersendiri bagi kubu Prabowo, karena kubu Jokowi selalu bisa menyanggahnya dengan data-data akurat dan sesuai fakta. Beberapa pengamat politik memprediksi bahwa narasi kampanye pesimis Prabowo-Sandi tak akan maksimal menambah dukungan dari milenial. Sebaliknyanya, pemilih pada segmen ini lebih senang dengan berbagai hal yang positif, bernada harapan dan realistis bisa dicapai, seperti yang dikeluarkan Jokowi.
Narasi-narasi pesimis yang dibangun oleh kubu Prabowo kini sampai pada level akut. Peluru kebohongan, hoax dan pesimisme ditembakan bertubi-tubi ke tubuh Pemerintahan Jokowi. Dari sekian banyak hoax dan fitnah yang diarahkan kepada pemerintah, ada satu hal yang tidak boleh dimiliki oleh seorang calon pemimpin, yaitu adalah pesimisme. Pesimisme diartikan sebagai paham yang beranggapan atau memandang segala sesuatu dari sudut buruknya saja.
Prabowo memang kerap meluncurkan pernyataan pesimis terhadap keadaan Indonesia saat ini. Tujuannya memang melemahkan kredibelitas pemerintah. Tetapi sikap pesimis juga tidak akan mengatasi masalah. Untunglah Jokowi selalu bersikap optimis apapun keadaan Indonesia saat ini. Karena membangun Indonesia harus dimulai dengan sikap optimis. Sikap itulah yang selalu ditekankan Jokowi untuk menyemangati segenap rakyat Indonesia. Secara psikologi, pernyataan Prabowo itu hanya membuat resah dan sikap kontraproduktif. Berbanding terbalik dengan sikap optimis pemerintah dalam memajukan Indonesia agar selevel dengan Amerika dan Tiongkok.
Sikap pesimis hanya membuat Indonesia jalan di tempat, bahkan bisa mundur. Syukurlah Indonesia punya presiden yang selalu optimis pada apapun keadaannya. Karena sikap itu penting agar Indonesia bisa bangkit dan terus berjuang ketika terjatuh. Prabowo bilang tahun 2030 indonesia bubar. Tetapi Jokowi optimis tahun 2030 Indonesia masuk 7 negara ekonomi terbesar dunia. Terbukti sikap optimis yang membawa Indonesia masuk 5 besar peraih Medali Emas di Asian Games 2018 dengan perolehan 30 medali emas.
Indonesia saat ini dipimpin oleh seorang anak bangsa yang penuh cita-cita untuk kemajuan bangsa. Seorang pemimpin yang optimis bahwa masa depan Indonesia sangat cerah. Energi positif itu kini merasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa sehingga “karja kita menjadi prestasi Bangsa”. Indonesia sebagai negara berkembang memeng memerlukan pemimpin yang bisa menanamkan optimisme pada rakyatnya. Dan satu lagi, orang pesimis tidak pantas menjadi pemimpin, dimanapun. Seorang Kepala Desa saja pasti akan selalu optimis Desanya bisa maju dan mandiri, apalagi seorang Presiden.
*) Mahasiswa Universitas Pattimura